SYIAH
Secara etimologi “Syiah” berarti Kelompok,
Golongan, Pendukung.
Di dalam al Qur`an, akar kata Syi'ah (Syai' atau Syuyû') dan derivasinya terulang sebanyak 13 kali. Dari ke 13
penggunaan kata tersebut hanya ada satu kali yang
hadir dalam nuannsa positif. Yakni Q.S. al-Shaffât 37:83,
yang menceritakan keluarga Nabi Ibrahim AS. yang datang dengan hati bersih.
Sedangkan sisanya hadir dalam nuansa negatif. Semisal dalam (QS. Maryam 19: 69), (QS. Al Qashash 28:15), (QS. al An'âm
6:65), (QS. Al An'âm 6:159), (QS. al Qashash 28:4), (QS. Al Qamar
54:51), (Q.S. al Nur 24:19).
Secara terminologi “Syiah” –menurut Ibn Khaldun- adalah
semua pengikut dan pendukung Imam Ali dan keturunannya yang berpandangan bahwa Imamah
bukanlah kepentingan umum yang keputusan dan pengangkatannya diserahkan pada umat,
namun ia adalah rukun agama dan fondasi dasar (qâ'idah ushûliyah) Islam
yang tidak boleh diabaikan oleh Nabi dan Nabi wajib mengangkat seorang imam
ma'shum sebagai penggantinya.
Dalil propaganda
Syiah diantaranya
(QS. al Baqarah
:124) dan (QS. al
Qashash: 5)
Tokoh Imam
syiah :
1.
Ali bin Abu
Thalib (w. 40 H)
2.
Hasan bin
Ali (w. 50 H)
3.
Husein bin
Ali (w. 61 H)
4.
Zainal
Abidin : Ali bin Husein bin Ali (w. 94 H)
5.
Al Baqir
: Muhammad bin Zainal Abidin (w. 117 H) … Zaid bin Zainal (w. 122 H)
6.
Al
Shadiq : Ja’far bin al Baqir (w. 148 H)
7.
Al
Kadhim : Musa bin al Shadiq (w. 183 H) … Ismail bin al Shadiq (w. sebelum 148
H)
8.
Al Ridha
: Ali bin al Kadhim (w. 202 H)
9.
Al
Jawwad : Muhammad bin al Ridha (w. 220 H)
10. Al Hadi : Ali bin al Jawwad (w. 254 H)
11. Al Askariy : Hasan bin Ali (w. 260 H)
12. Al Mahdiy : Muhammad bin al Askariy (lenyap 260
H)
Rukun Iman
Syiah hanya memiliki 5
rukun iman, tanpa menyebut keimanan kepada para Malaikat, Rasul dan Qadha dan Qadar. Rukun
Iman Syiah : 1. Tauhid (keesaan
Allah), 2. Al 'Adl (keadilan Allah) 3.
Nubuwwah (kenabian), 4. Imamah (kepemimpinan Imam),
5. Ma'ad (hari kebangkitan dan pembalasan).
Rukum Islam
Syiah tidak mencantumkan
Syahadatain dalam rukun Islam. Rukun Islam Syiah : 1. Shalat, 2. Zakat, 3. Puasa, 4. Haji, 5.Wilayah
(perwalian).
Imamah
1.
Zaidiyah : Imamah dipilih
oleh allah dan umat islam meskipun harus berada di tangan keturunan Fatimah, baik keturunan Hasan maupun
Husein. Setiap keturunan Fatimah yang alim, pemberani, dan terhormat dapat akan
menjadi imam yang harus ditaati. Dalam dua daerah – masih menurut Zaidiyah –
boleh dipimpin oleh dua imam. Mereka juga berpendapat: bolehnya mengangkat imam
al-mafdlûl meskipun pada saat itu terdapat yang al-afdlal. Oleh
karena itu, sekte Syiah yang satu ini mengakui keabsahan kekhilafahan Abu Bakar
dan Umar (baca: al-mafdlûl), meskipun sebenarnya ada yang lebih afdlal
memangku jabatan khilafah, yaitu Ali.
2.
Ismâiliyah : imamah merupakan kedudukan
yang dipilih langsung oleh Allah sendiri, karena keutamaan ilmu dan ibadahnya,
sebagaimana Allah memilih NabiNya dan memerintahkannya untuk memberi petunjuk
dan membimbing ummatnya. Karena Isma’il meninggal lebih dulu sebelum Ja’far al Shadiq,
maka ia akan kembali ke dunia setelah dalam keabsenanya atau persembunyiannya (raj’ah
ba’da ghaibah).
3.
Ja’fariyah (Imamiyah) : imamah itu seperti halnya nubuwwah dalam segala
hal kecuali wahyu. imam itu seperti Nabi dalam hal kemakshuman, ilmu dan
sifat-sifatnya. Setiap masa harus terdapat imam yang posisi dan tugasnya
menggantikan posisi dan tugas Nabi. Imamah harus ditentukan atau
diangkat dengan nash dari Allah melalui lisan Rasul atau imam yang sedang
berkuasa.
Taqiyyah
Taqiyyah secra etimologi berarti
waspada atau hati-hati. Adapun yang dimaksud disini adalah, berkata atau
berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang diyakini demi untuk menolak
kerusakan atau bahaya yang akan menimpa diri dan hartanya, atau untuk menjaga
kehormatannya.
Al Qur’an yang menerangkan tentang pembolehan berbohong
kepada orang kafir dengan syarat hatinya masih tetap dalam keimanan (Q.S. Ali
‘Imrân 3:28) dan mengaku kafir karena dipaksa (Q.S. al-Nahl 16:106)
Nikah Mut’ah
Nikah Mut’ah secara terminologi dapat didefinisikan dengan: kesepakatan antara seorang lelaki dengan perempaun untuk melakukan tamattu’ (hubungan seksual) dalam waktu tertentu dengan mahar tertentu.
Syiah,
terutama Imâmiyah dan sekte-sekte sempalannya, meyakini akan kehalalan dan
pembolehan nikah mut’ah. Untuk memperkuat pendapatnya, mereka menggunakan al Qur’an, Hadits dan praktek
Sahabat sebagai argumennya.
1.
al Qur’an. Yaitu: “... Maka isteri-isteri yang telah
kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya
(dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban ...” (QS. al Nisâ` 4:24).
2.
Hadis dari Imran Ibn Hushin. Imran berkata: “Ayat mut’ah turun
dalam Kitab Allah, lalu kami melakukannya bersama Rasulullah Saw.” (H.R. Bukhari).
3.
Hadis Dari Jabir. Jabir berkata: “Kami melakukan
nikah mut’ah selama beberapa hari dengan
(mahar) segeggam kurma dan tepung.” (H.R. Muslim)
4.
Hadis
dari Subrah al Jahani. Subrah bercerita bahwa ia ketika berperang
bersama Nabi dalam penaklukan Mekkah, ia berkata: “Kami tinggal di Mekkah
selama lima belas hari, lalu Rasulullah membolehkan kepada kami dalam mut’ah
wanita.”
5.
praktek para Sahabat. Menurut Syiah, beberapa sahabat
telah mempraktekkan dan melakukan nikah mut’ah, antara lain: Abdullah Ibn Abbas,
Jabir bin Abdullah al Anshariy, Ibn Mas’ud, Ubayyi Ibn Ka’b, dan ‘Imran Ibn
Hushin.
Al Qur’an Dalam Perspektif Syiah
Sebagian Syiah – mungkin Mayoritas – berpendapat bahwa al-Qur’an yang berada di tangan kita adalah “al-Qur’an al-shâmit” (diam/pasif). Oleh karena itu, dibutuhkan al-Qur’an “penjelas” (al-Qur’an al-nâtiq), yaitu para Imam, untuk menjelaskan dan mentakwili maksud Allah yang terkandung dalam al-Qur’an al-shâmit. Tidak boleh berinterkasi dengan dhahir al-Qur’an kecuali setelah dijelaskan oleh para Imam. Karena dalam al-Qur’an terdapat kata-kata yang ‘âm, khâs, mutlaq, dan muqayyad. Dan hal ini tidak dapat diketahui kecuali melalui para Imam dari ahl al-bait.
Bahkan sebagian sekte Syah Ekstrem tidak hanya sampai pada pentakwilan al-Qur’an. Namun, lebih dari itu, mereka mengatakan bahwa al-Qur’an yang berada di tangan ummat Islam sekarang, yaitu Mushaf Utsmani, adalah al-Qur’an yang telah didistrosi dan dirubah, tidak asli lagi. Karena ayat al-Qur’an yang diturunakan malaikat Jibril kepada Nabi Muahmmad dalam versi mereka, sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Shâdiq, berjumlah 17000 (tujuh belas ribu) ayat. Sedangkan seperti yang kita ketahui bahwa al-Qur’an, lebih tepatnya Mushaf, yang berada ditangan kita tidak lebih dari 6300 ayat. Jadi, dalam pandangan mereka banyak ayat-ayat al-Qur’an yang dibuang, terutama ayat-ayat yang menerangkan masalah imâmah dan khilafah. Mereka berargumen dengan hadits-hadits versi Syiah – dikatakan lebih dari dua ribu hadits versi mereka -- yang menerangkan tentang pendistorsian al-Qur’an tersebut.
As-Sunnah Dalam Perspektif Syiah
Definisi
Sunnah dalam versi Syiah berbeda dengan definisi Sunah versi Jumhur. Kalau
Jumhur mendefinisikan Sunnah dengan: perkataan Nabi SAW atau perbutannya atau
ketetapannya. Akan tetapi Syiah mendefinisikan as-Sunnah dengan: perkataan
“al-Ma’shum” (imam-imam ma’shum), perbuatannya dan keketatapannya. Hal ini
secara tersirat dapat kita tarik kesimpulan bahwa para imam yang bersal dari
alu al-bait, bukan sebagai seorang perawi. Akan tetapi, mereka adalah
‘penyabda’ sebagaimana Nabi. Bedanya, kalau Nabi melalui wahyu, sedangkan para
imam tadi melalui ilham. Oleh karena itu, keterangan dan penjelasan mereka tentang suatu hukum bukan macam dari riwayat
Sunnah ataupun macam dari ijtihad, atau istinbath dari sumber hukum. Akan
tetapi, sabda dan penjelasan mereka tersebut adalah sumber hukum. Perkataan mereka berstatus sebagai Sunnah bukan riwayat
Sunnah.
Syiah membagi Sunnah
kedalam empat tingkatan, yaitu: pertama, Shahîh. Sunnah dianggap
Shahîh bila sanadnya sampai pada al-Ma’shum tanpa terputus, semua perawinya
imam, adil dan dhâbit. Kedua, Hasan. Sunnah dianggap Hasan
oleh Syiah bila memenuhi syarat: sanad sampai kepada al-Ma’shum, semua
perawinya imam, mamdûh (terpuji) dan diterima, serta tidak ada teks
tentang keadalahan perawi, karena kalau perawi adil, berarti naik menjadi
Shahîh. Ketiga, Muwatstsaq. Yaitu Sunnah yang sanadnya sampai
al-Ma’shum, perawinya bukan imam, namun mûtsiq (terpercaya). Keempat,
Dhâif. Yaitu Sunnah yang tidak memenuhi syarat-syarat diatas.
KHAWARIJ
Khawarij secara bahasa berarti kelompok
orang-orang yang keluar. Mengingat Khawârij merupakan bentuk plural dari
khârij, yang artinya orang yang keluar.
Khawarij secara istilah ialah orang-orang yang
keluar dari golongan syiah Ali bin abu thalib.
Kelompok khawarij muncul pasca terjadinya Tahkîm
(Arbitrase) pada perang Shiffin.
Dalil propaganda khawarij : (QS. al Nisa: 100)
, (QS. al Baqarah: 207), (QS. al Hujurat: 13), (QS. al Maidah: 44) (QS. Ali
Imran: 106)
Tokoh khawarij : Abdullah bin Wahab al Rasyidiy
, Nafi’ bin Azraq (w. 65 H)
Al Hâkimiyyah : Lâ Hukma Iillâ (Li) Allâh
Dalam sejarah pemikiran islam, statemen al hâkimiyyah
(otoritas) pertama kali diusung oleh sekte Khawarij dalam jargonnya lâ hukma
illâ li Allâh. Hal ini terjadi ketika kaum pembelot Ali tersebut menolak
arbitrasi pada perang Shiffin. Menurut Khawarij, keputusan hanyalah di tangan
Allah, tidak di tangan kedua arbitrator, yaitu Abu Musa Asy'ari dan Amr bin
Ash. Dengan ini, Khawarij telah memindahkan konflik serta
oposisi mereka dari ruang aktifitas politik yang mengandung kemungkinan salah
dan benar ke dalam ruang akidah keagamaan yang pada prinsipnya concern terhadap
masalah kafir atau iman. Untuk itulah, slogan Khawarij lâ hukma illâ li
Allâh (tidak ada keputusan selain keputusan Allah) dijawab imam Ali dengan kalimatu
al haqq wa yurâdu bi-hâ al bâthil (statemen yang benar, tetapi yang
dimaksud salah).
Takfîr
Khawarij tidak membedakan antara maksiat (dosa) dan kekafiran. Mereka juga tidak membedakan antara
satu kemaksiatan (dosa) dengan kemaksiatan (dosa) yang lain. Walhasil setiap kemaksiatan adalah bentuk
dari kekafiran (keingkaran)
Konsep takfir ini erat kaitannya dengan konsep lâ
hukma illâ li Allâh karena pada dasarnya, Khawarij mendasarkan klaim
hakimiyah (otoritas) pada ayat yang mengatakan "...Barang siapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir." (QS. al Maidah: 44).
Al Hijrah
Disamping takfîr (pengkafiran) dan al-hukmu
bi mâ anzala Allâh, muncul pula prinsip hijrah untuk meyempurnakan lingkup
pemikiran Khawarij. Khawarij melihat, seperti
halnya Nabi memisahkan diri dari kaum kafir Makah,
selayaknya bagi
mereka untuk memisahkan diri dari
khalayak kaum kafir sesat. Khawarij pun
mempropagandakan untuk berhijrah dari dar al
harb, yaitu negaranya para pendosa mayoritas umat Islam ke dar al hijrah,
yaitu dar as salam
Setelah kejadian tahkîm, prinsip hijrah
tampak berkait dengan takfir. Ibnu Qutaibah meriwayatkan, "Ketika
sudah terjadi dua keputusan itu, orang-orang Khawarij bertemu dan berkumpul di
rumah Abdullah bin Wahab al Rasidiy. Selanjutnya, al Rasidiy berdiri diantara
mereka sebagai khatib. Setelah (dalam khutbahnya itu) ia menyebutkan amar
makruf nahi mungkar dan menganjurkan masyarakat untuk melaksanakannya, al Rasidiy
berkata, "Keluarlah kalian semua bersama kami dari tempat yang penduduknya
berbuat zalim ini menuju beberapa daerah sebagai pengingkaran terhadap bid'ah
yang menyesatkan dan pemimpin-pemimpin yang lalim.
Khawarij mendukung prinsip hijrah dengan beberapa ayat
Al-Qur'an, seperti firman Allah, "Sesungguhnya orang-orang yang
diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka)
malaikat bertanya, "Dalam keadaan bagaimana kamu ini". Mereka
menjawab, "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makah)".
Para malaikat berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat
berhijrah dibumi itu". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam
itu seburuk-buruknya tempat kembali." (QS. Al Nisa: 97).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar