Kamis, 24 Maret 2016

SYIAH



SYIAH
Secara etimologi “Syiah” berarti Kelompok, Golongan, Pendukung.
Di dalam al Qur`an, akar kata Syi'ah (Syai' atau Syuyû') dan derivasinya terulang sebanyak 13 kali. Dari ke 13 penggunaan kata tersebut hanya ada satu kali yang hadir dalam nuannsa positif. Yakni Q.S. al-Shaffât 37:83, yang menceritakan keluarga Nabi Ibrahim AS. yang datang dengan hati bersih. Sedangkan sisanya hadir dalam nuansa negatif. Semisal dalam (QS. Maryam 19: 69), (QS. Al Qashash 28:15), (QS. al An'âm 6:65), (QS. Al An'âm 6:159), (QS. al Qashash 28:4), (QS. Al Qamar 54:51), (Q.S. al Nur 24:19).
Secara terminologi “Syiah” –menurut Ibn Khaldun- adalah semua pengikut dan pendukung Imam Ali dan keturunannya yang berpandangan bahwa Imamah bukanlah kepentingan umum yang keputusan dan pengangkatannya diserahkan pada umat, namun ia adalah rukun agama dan fondasi dasar (qâ'idah ushûliyah) Islam yang tidak boleh diabaikan oleh Nabi dan Nabi wajib mengangkat seorang imam ma'shum sebagai penggantinya.
Dalil propaganda Syiah diantaranya (QS. al Baqarah :124) dan (QS. al Qashash: 5)

Tokoh Imam syiah :
1.      Ali bin Abu Thalib (w. 40 H)
2.      Hasan bin Ali (w. 50 H)
3.      Husein bin Ali (w. 61 H)
4.      Zainal Abidin : Ali bin Husein bin Ali (w. 94 H)
5.      Al Baqir : Muhammad bin Zainal Abidin (w. 117 H) … Zaid bin Zainal (w. 122 H)
6.      Al Shadiq : Ja’far bin al Baqir (w. 148 H)
7.      Al Kadhim : Musa bin al Shadiq (w. 183 H) … Ismail bin al Shadiq (w. sebelum 148 H)
8.      Al Ridha : Ali bin al Kadhim (w. 202 H)
9.      Al Jawwad : Muhammad bin al Ridha (w. 220 H)
10.  Al Hadi : Ali bin al Jawwad (w. 254 H)
11.  Al Askariy : Hasan bin Ali (w. 260 H)
12.  Al Mahdiy : Muhammad bin al Askariy (lenyap 260 H)

Rukun Iman

Syiah hanya memiliki 5 rukun iman, tanpa menyebut keimanan kepada para Malaikat, Rasul dan Qadha dan Qadar. Rukun Iman Syiah : 1. Tauhid (keesaan Allah), 2. Al 'Adl (keadilan Allah) 3. Nubuwwah (kenabian), 4. Imamah (kepemimpinan Imam), 5. Ma'ad (hari kebangkitan dan pembalasan).

Rukum Islam

Syiah tidak mencantumkan Syahadatain dalam rukun Islam. Rukun Islam Syiah : 1. Shalat, 2. Zakat, 3. Puasa, 4. Haji, 5.Wilayah (perwalian).
Imamah
1.                  Zaidiyah : Imamah dipilih oleh allah dan umat islam meskipun harus berada di tangan keturunan Fatimah, baik keturunan Hasan maupun Husein. Setiap keturunan Fatimah yang alim, pemberani, dan terhormat dapat akan menjadi imam yang harus ditaati. Dalam dua daerah – masih menurut Zaidiyah – boleh dipimpin oleh dua imam. Mereka juga berpendapat: bolehnya mengangkat imam al-mafdlûl meskipun pada saat itu terdapat yang al-afdlal. Oleh karena itu, sekte Syiah yang satu ini mengakui keabsahan kekhilafahan Abu Bakar dan Umar (baca: al-mafdlûl), meskipun sebenarnya ada yang lebih afdlal memangku jabatan khilafah, yaitu Ali.
2.                  Ismâiliyah : imamah merupakan kedudukan yang dipilih langsung oleh Allah sendiri, karena keutamaan ilmu dan ibadahnya, sebagaimana Allah memilih NabiNya dan memerintahkannya untuk memberi petunjuk dan membimbing ummatnya. Karena Isma’il meninggal lebih dulu sebelum Ja’far al Shadiq, maka ia akan kembali ke dunia setelah dalam keabsenanya atau persembunyiannya (raj’ah ba’da ghaibah).
3.                  Ja’fariyah (Imamiyah) : imamah itu seperti halnya nubuwwah dalam segala hal kecuali wahyu. imam itu seperti Nabi dalam hal kemakshuman, ilmu dan sifat-sifatnya. Setiap masa harus terdapat imam yang posisi dan tugasnya menggantikan posisi dan tugas Nabi. Imamah harus ditentukan atau diangkat dengan nash dari Allah melalui lisan Rasul atau imam yang sedang berkuasa.

Taqiyyah

Taqiyyah secra etimologi berarti waspada atau hati-hati. Adapun yang dimaksud disini adalah, berkata atau berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang diyakini demi untuk menolak kerusakan atau bahaya yang akan menimpa diri dan hartanya, atau untuk menjaga kehormatannya.
Al Qur’an yang menerangkan tentang pembolehan berbohong kepada orang kafir dengan syarat hatinya masih tetap dalam keimanan (Q.S. Ali ‘Imrân 3:28) dan mengaku kafir karena dipaksa (Q.S. al-Nahl 16:106)      

Nikah Mut’ah

            Nikah Mut’ah secara terminologi dapat didefinisikan dengan: kesepakatan antara seorang lelaki dengan perempaun untuk melakukan tamattu’ (hubungan seksual) dalam waktu tertentu dengan mahar tertentu.

            Syiah, terutama Imâmiyah dan sekte-sekte sempalannya, meyakini akan kehalalan dan pembolehan nikah mut’ah. Untuk memperkuat pendapatnya, mereka menggunakan  al Qur’an, Hadits dan praktek Sahabat sebagai argumennya.
1.      al Qur’an. Yaitu: “... Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban ...” (QS. al Nisâ` 4:24).
2.      Hadis dari Imran Ibn Hushin. Imran berkata: “Ayat mut’ah turun dalam Kitab Allah, lalu kami melakukannya bersama Rasulullah Saw.” (H.R. Bukhari).
3.      Hadis Dari Jabir. Jabir berkata: “Kami melakukan nikah mut’ah selama beberapa hari  dengan (mahar) segeggam kurma dan tepung.” (H.R. Muslim)
4.      Hadis dari Subrah al Jahani. Subrah bercerita bahwa ia ketika berperang bersama Nabi dalam penaklukan Mekkah, ia berkata: “Kami tinggal di Mekkah selama lima belas hari, lalu Rasulullah membolehkan kepada kami dalam mut’ah wanita.”
5.      praktek para Sahabat. Menurut Syiah, beberapa sahabat telah mempraktekkan dan melakukan nikah mut’ah, antara lain: Abdullah Ibn Abbas, Jabir bin Abdullah al Anshariy, Ibn Mas’ud, Ubayyi Ibn Ka’b, dan ‘Imran Ibn Hushin.
Al Qur’an Dalam Perspektif Syiah

Sebagian Syiah – mungkin Mayoritas – berpendapat bahwa al-Qur’an yang berada di tangan kita adalah “al-Qur’an al-shâmit” (diam/pasif). Oleh karena itu, dibutuhkan al-Qur’an “penjelas” (al-Qur’an al-nâtiq), yaitu para Imam, untuk menjelaskan dan mentakwili maksud Allah yang terkandung dalam  al-Qur’an al-shâmit. Tidak boleh berinterkasi dengan dhahir al-Qur’an kecuali setelah dijelaskan oleh para Imam. Karena dalam al-Qur’an terdapat kata-kata yang ‘âm, khâs, mutlaq, dan muqayyad. Dan hal ini tidak dapat diketahui kecuali melalui para Imam dari ahl al-bait.

Bahkan sebagian sekte Syah Ekstrem tidak hanya sampai pada pentakwilan al-Qur’an. Namun, lebih dari itu, mereka mengatakan bahwa al-Qur’an yang berada di tangan ummat Islam sekarang, yaitu Mushaf Utsmani, adalah al-Qur’an yang telah didistrosi dan dirubah, tidak asli lagi. Karena ayat al-Qur’an yang diturunakan malaikat Jibril kepada Nabi Muahmmad dalam versi mereka, sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Shâdiq, berjumlah 17000 (tujuh belas ribu) ayat. Sedangkan seperti yang kita ketahui bahwa al-Qur’an, lebih tepatnya Mushaf, yang berada ditangan kita tidak lebih dari 6300 ayat. Jadi, dalam pandangan mereka banyak ayat-ayat al-Qur’an yang dibuang, terutama ayat-ayat yang menerangkan masalah imâmah dan khilafah. Mereka berargumen dengan hadits-hadits versi Syiah – dikatakan lebih dari dua ribu hadits versi mereka -- yang menerangkan tentang pendistorsian al-Qur’an tersebut.

 



As-Sunnah Dalam Perspektif Syiah
            Definisi Sunnah dalam versi Syiah berbeda dengan definisi Sunah versi Jumhur. Kalau Jumhur mendefinisikan Sunnah dengan: perkataan Nabi SAW atau perbutannya atau ketetapannya. Akan tetapi Syiah mendefinisikan as-Sunnah dengan: perkataan “al-Ma’shum” (imam-imam ma’shum), perbuatannya dan keketatapannya. Hal ini secara tersirat dapat kita tarik kesimpulan bahwa para imam yang bersal dari alu al-bait, bukan sebagai seorang perawi. Akan tetapi, mereka adalah ‘penyabda’ sebagaimana Nabi. Bedanya, kalau Nabi melalui wahyu, sedangkan para imam tadi melalui ilham. Oleh karena itu, keterangan dan penjelasan mereka tentang suatu hukum bukan macam dari riwayat Sunnah ataupun macam dari ijtihad, atau istinbath dari sumber hukum. Akan tetapi, sabda dan penjelasan mereka tersebut adalah sumber hukum. Perkataan mereka berstatus sebagai Sunnah bukan riwayat Sunnah.
Syiah membagi Sunnah kedalam empat tingkatan, yaitu: pertama, Shahîh. Sunnah dianggap Shahîh bila sanadnya sampai pada al-Ma’shum tanpa terputus, semua perawinya imam, adil dan dhâbit. Kedua, Hasan. Sunnah dianggap Hasan oleh Syiah bila memenuhi syarat: sanad sampai kepada al-Ma’shum, semua perawinya imam, mamdûh (terpuji) dan diterima, serta tidak ada teks tentang keadalahan perawi, karena kalau perawi adil, berarti naik menjadi Shahîh. Ketiga, Muwatstsaq. Yaitu Sunnah yang sanadnya sampai al-Ma’shum, perawinya bukan imam, namun mûtsiq (terpercaya). Keempat, Dhâif. Yaitu Sunnah yang tidak memenuhi syarat-syarat diatas.












KHAWARIJ
Khawarij secara bahasa berarti kelompok orang-orang yang keluar. Mengingat Khawârij merupakan bentuk plural dari khârij, yang artinya orang yang keluar.
Khawarij secara istilah ialah orang-orang yang keluar dari golongan syiah Ali bin abu thalib.
Kelompok khawarij muncul pasca terjadinya Tahkîm (Arbitrase) pada perang Shiffin.
Dalil propaganda khawarij : (QS. al Nisa: 100) , (QS. al Baqarah: 207), (QS. al Hujurat: 13), (QS. al Maidah: 44) (QS. Ali Imran: 106)
Tokoh khawarij : Abdullah bin Wahab al Rasyidiy , Nafi’ bin Azraq (w. 65 H)

Al Hâkimiyyah :Hukma Iillâ (Li) Allâh
Dalam sejarah pemikiran islam, statemen al hâkimiyyah (otoritas) pertama kali diusung oleh sekte Khawarij dalam jargonnya hukma illâ li Allâh. Hal ini terjadi ketika kaum pembelot Ali tersebut menolak arbitrasi pada perang Shiffin. Menurut Khawarij, keputusan hanyalah di tangan Allah, tidak di tangan kedua arbitrator, yaitu Abu Musa Asy'ari dan Amr bin Ash. Dengan ini, Khawarij telah memindahkan konflik serta oposisi mereka dari ruang aktifitas politik yang mengandung kemungkinan salah dan benar ke dalam ruang akidah keagamaan yang pada prinsipnya concern terhadap masalah kafir atau iman. Untuk itulah, slogan Khawarij hukma illâ li Allâh (tidak ada keputusan selain keputusan Allah) dijawab imam Ali dengan kalimatu al haqq wa yurâdu bi-hâ al bâthil (statemen yang benar, tetapi yang dimaksud salah).
Takfîr
Khawarij tidak membedakan antara maksiat (dosa) dan kekafiran. Mereka juga tidak membedakan antara satu kemaksiatan (dosa) dengan kemaksiatan (dosa) yang lain. Walhasil setiap kemaksiatan adalah bentuk dari kekafiran (keingkaran)
Konsep takfir ini erat kaitannya dengan konsep hukma illâ li Allâh karena pada dasarnya, Khawarij mendasarkan klaim hakimiyah (otoritas) pada ayat yang mengatakan "...Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. al Maidah: 44).
Al Hijrah
Disamping takfîr (pengkafiran) dan al-hukmu bi mâ anzala Allâh, muncul pula prinsip hijrah untuk meyempurnakan lingkup pemikiran Khawarij. Khawarij melihat, seperti halnya Nabi memisahkan diri dari kaum kafir Makah, selayaknya bagi mereka untuk memisahkan diri dari khalayak kaum kafir sesat. Khawarij pun mempropagandakan untuk berhijrah dari dar al harb, yaitu negaranya para pendosa mayoritas umat Islam ke dar al hijrah, yaitu dar as salam
Setelah kejadian tahkîm, prinsip hijrah tampak berkait dengan takfir. Ibnu Qutaibah meriwayatkan, "Ketika sudah terjadi dua keputusan itu, orang-orang Khawarij bertemu dan berkumpul di rumah Abdullah bin Wahab al Rasidiy. Selanjutnya, al Rasidiy berdiri diantara mereka sebagai khatib. Setelah (dalam khutbahnya itu) ia menyebutkan amar makruf nahi mungkar dan menganjurkan masyarakat untuk melaksanakannya, al Rasidiy berkata, "Keluarlah kalian semua bersama kami dari tempat yang penduduknya berbuat zalim ini menuju beberapa daerah sebagai pengingkaran terhadap bid'ah yang menyesatkan dan pemimpin-pemimpin yang lalim.
Khawarij mendukung prinsip hijrah dengan beberapa ayat Al-Qur'an, seperti firman Allah, "Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, "Dalam keadaan bagaimana kamu ini". Mereka menjawab, "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makah)". Para malaikat berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali." (QS. Al Nisa: 97).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar