Kamis, 24 Maret 2016

MALAIKAT RASUL



RASUL

I.                   PENDAHULUAN
Seluruh manusia mengakui adanya rasul yang memiliki beberapa keistimewaan ataupun mukjizat. Adanya rasul dapat diterima oleh akal. Rasul-rasul tersebut saling membenarkan satu dengan yang lainnya. Semua rasul bertauhidkan Allah dan beriktikad bahwa Allah itu berilmu, berqudrat, beriradat dan berhikmat. Rasul-rasul itu mengakui bahwa sebelum mereka, telah datang rasul yang diutus Allah dan semua dari mereka menetapkan kepastian adanya hari kiamat.
Sebagai umat muslim kita wajib percaya terhadap adanya nabi dan rasul Allah SWT  caranya yakni dengan beriman atau mempercayai bahwa Allah telah memilih diantara manusia beberapa orang utusanNya, yang berlaku sebagai perantara antara Allah dengan hambaNya. Mereka bertugas menyampaikan kepada hamba Allah segala yang diterima dari Allah dengan jalan wahyu dan menunjukkan manusia kepada jalan yang lurus, menuntun, memimpin, membimbing manusia dalam menempuh jalan kesejahteraan dan keselamatan dunia dan akhirat.
Oleh karena tugas yang telah diembannya tersebut membimbing manusia ke jalan yang benar, maka sebagai umat muslim kita perlu mengenal siapa saja nabi dan rasul yang diutus Allah. Tidak hanya nama, kita juga harus mengetahui tugas-tugas beliau, sifat-sifat beliau dan bagaimana cara dakwah para nabi dan rasul dalam mentauhidkan Allah SWT. Khususnya kepada Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir sebagai tauladan dan pemberi rahmat bagi seluruh alam.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa yang Dimaksud dengan Nabi dan Rasul ?
B.     Berapa Jumlah Nabi dan Rasul yang Telah Dipilih oleh Allah?
C.     Bagaimana Sifat-sifat Nabi dan Rasul Allah?
D.    Bagaimana Kemaksuman Para Nabi dan Rasul Allah?
E.     Mengapa Nabi Muhammad Disebut sebagai Nabi Terakhir?
F.      Bagaimana Cara Dakwah Nabi Muhammad SAW untuk Seluruh Umat?


A.    Pengertian Nabi dan Rasul Allah
[1]Ar-Rasul (الرسول) diambil dari kata al-irsal ((الإرسال, yang berarti utusan dan pengaraha. Dengan demikian, rasul berarti delegasi, yaitu orang yang membawa berita dari orang yang mengutusnya. Allah berfirman :
وَإَنّىمُرْسِلَةٌ إِليْهِم بِهَدِيَّةٍ فَنَاظِرَةُ ۢ بِمَ يَرْجِعُ الْمُرْسَلُونَ
“Dan sungguh, aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku) akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh para utusan itu.” (An-Naml:35)

Dengan demikian, penyebutan rasul adalah dikarenakan Allah telah mengutus dan mengirim mereka dengan membawa risalah kepada umat mereka, serta membebankan kepada mereka agar membawa dan menyampaikan risalah tersebut. Allah berfirman :
ثُمَّ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا تَتْرَا ۖ
“Kemudian kami utum rasul-rasul Kami berturut-turut.” (Al-Mu’minun:44)
Rasul adalah seorang yang diutus oleh Allah SWT kepada manusia, dari Tuhan untuk ciptaan-Nya

B.     Jumlah Nabi dan Rasul
Bilangan Nabi dan Rasul Allah telah disebutkan dalam Al Qur’an dan hadits. Baik 25 nabi dan rasul yang wajib kita imani maupun beberapa nabi-nabi lainnya yang kita imani pula  dengan jumlah yang lebih banyak lagi.
1.      Jumlah Nabi dan Rasul Allah dalam Al Qur’an
Para ulama menetapkan bahwa, setiap mukalaf harus mempercayai bahwa Allah mengutus beberapa rasul dan mengutus beberapa nabi.[2] Di dalam Al Qur’an disebutkan dengan jelas nama beserta kisah nabi dan rasul yang wajib diimani oleh umat muslim berjumlah 25 orang. Delapan belas diantara dua puluh lima nama nabi dan rasul tersebut disebutkan dalam ayat 83, 84, 85 dan 86 Surat AL An’am. Nabi dan rasul yang disebutkan dalam Q.S Al An’am diantaranya: Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, Nuh, Daud, Sulaiman, Ayub, Yusuf, Musa, Harun, Zakariya, Yahya, Isa, Ilyasa, Ismail, Ilyas, Yunus dan Luth. Sedangkan tujuh rasul lainnya diungkapkan di dalam beberapa ayat terpisah di dalam Al Qur’an. Diantaranya, Adam, Idris, Shaleh, Syu’aib, Hud, Zulkifli dan nabi Muhammad SAW. Selain itu, Allah juga menyebutkan beberapa nabi lain, tetapi tidak disebutkan namanya.[3]
Rasul-rasul yang namanya disebut dalam Al Qur’an wajib diimani secara tafshili. Maksudnya kita harus yakin akan kerasulan mereka, mengenal nama-nama dan pribadi mereka serta perjuangan mereka dalam rangka menyampaikan risalah Allah kepada umat atau kaumnya. Sedangakan bagi nabi yang tidak disebutkan namanya atau kecuali dari 25 nabi dan rasul yang telah disebutkan di atas, cukup diimani secara ijmali. Yakni, kita beriman bahwa selain dari 25 nabi tersebut, masih terdapat nabi atau rasul yang tidak disebutkan namanya di dalam Al Qur’an (cukup mengetahui saja). [4]
2.      Jumlah Nabi dan Rasul Allah dalam Hadits Rasulullah
Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar r.a menyebutkan bahwa ketika Rasulullah ditanya oleh sahabat mengenai jumlah nabi-nabi, Rasulullah menjawab bahwa jumlah nabi adalah 124.000 dan 315 diantaranya adalah seorang rasul. Pada hadits lainnya, yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim mengungkapkan bahwa ketika Rasulullah ditanya tentang jumlah nabi dan rasul beliau menjawab, “ Jumlah (nabi) seratus dua puluh ribu orang dan yang menjadi rasul diantara mereka tiga ratus tiga belas orang.” (HR. Bukhari-Muslim).
C.     Sifat-sifat  Nabi dan Rasul Allah
Gelar sebagai Nabi dan Rasul tidak dapat diusahakan oleh siapapun. Karena gelar atau status tersebut hanyalah semata-mata pemberian Allah SWT. Sebelum mengangkat seseorang menjadi Rasul, Allah SWT. Telah menyiapkan dan memelihara kepribadian orang tersebut ; memiliki jiwa yang utuh, nalar yang kuat, akhlak yang mulia. Disamping itu diangkat dan tidaknya seseorang menjadi Nabi tergantung juga kepada kondisi masyarakat dimana dia berada, apakah memang sangat membutuhkan diutusnya seorang Nabi dan Rasul untuk memperbaiki dan membimbing kehidupan mereka yang sudah sangat jauh menyimpang dari fitrah kemanusiaan.
            Secara umum setiap Nabi dan Rasul memiliki sifat-sifat yang mulia dan terpuji sesuai dengan statusnya sebagai manusia pilihan Allah SWT. Rasul sebagai utusan Allah SWT. Memiliki sifat-sifat yang melekat pada dirinya sebagai bentuk kebenaran seorang Rasul. Sifat-sifat tersebut meliputi sifat wajib, sifat mustahil, dan sifat jaiz.
1.      Sifat Wajib
 Sifat wajib artinya sifat yang pasti ada pada diri rasul. Sifat wajib ini ada 4, yaitu sebagai berikut ;
a.       Shiddiq
Shiddiq artinya benar. Apapun yang dikatakan oleh seorang rasul selalu mengandung kebenaran baik itu niat, keinginan, perkataan, maupun perbuatannya.
Firman Allah SWT. Dalam Q.S. Al-Haaqqah : 44-48 yang artinya :
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami. Niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seseorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu. Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.”
Ayat ini menegaskan bahwa Rasul (dalam hal ini Muhammad s.a.w. ) tidak berdusta, mengada-ada atas nama Allah. Tetapi yang disampaikannya adalah wahyu, sebagai peringatan bagi yang bertaqwa.[5]
Demikian pula dengan rasul-rasul lainnya diungkapkan pula didalam Al-Qur’an “Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi.” (Q.S. Maryam : 41)
b.      Amanah                                                                                                                    
Amanah yaitu rasul selalu dapat dipercaya. Jika suatu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.Semua rasul menyampaikan perintah-perintah Allah dan larangan-laranganNya tanpa ditambahi atau dikurangi, tanpa perubahan atau pemutar balikkan. Dia akan selalu menjaga amanah kapan dan dimanapun, baik dilihat dan diketahui orang lain atau tidak diketahui orang lain.
Firman Allah SWT. :
“(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan.” (Q.S. Al-Ahzab : 39)
Seandainya sifat amanah tidak ada pada diri rasul, maka berbagai risalah telah berubah dan manusia tidak akan percaya kepada wahyu yang diturunkan.
c.       Tabligh
          Tabligh artinya menyampaikan. Setiap rasul Allah wajib menyampaikan segala apa yang diwahyukan oleh Allah dengan terang tanpa mengurangi atau menambahi. Sebab dengan begitu dia telah menyalahi perintah Allah dan mengkhianati amanah yang diberikan kepadanya. Karena inilah kita melihat beberapa surah atau ayat-ayat Al-Qur’an dimulai dengan “Qul (katakanlah).” Kalimat tersebut merupakan perintah yang ditujukan kepada Nabi untuk disampaikan kepada umatnya. Contohnya pada Q.S. Al-Falaq : 1 “katakanlah (Muhammad), ‘aku berlindung kepada Rabb yang menguasai shubuh.’” Beliau tidak mengatakan “aku berlindung kepada Rabb yang menguasai shubuh, tanpa menyertakan kalimat perintah dari Allah yang ditujukan kepadanya yaitu “Qul (katakanlah).”  Beliau menyampaikan perintah yang ditujukan kepadanya dengan bentuk kalimat dan huruf yang sama persis.[6]
      Resiko penyampaian itu memang berat, karena wahyu Allah yang disampaikan itu sering bersifat merombak tradisi yang sudah membudaya ditengah masyarakat, baik yang menyangkut aqidah, syariat, mu’amalat, dll. Oleh sebab itu banyak rasul-rasul itu dimusuhi oleh kaumnya.
       Para rasul tidak hanya menyampaikan saja, tetapi mereka juga berusaha sekuat tenaga dalam memberikan nasehat kepada kaumnya untuk menerimanya. Mereka pun berdebat dan berdialog dengan kaumnya dengan bahasa yang baik sampai kaumnya menerima atau mereka berputus asa dari hal tersebut. Dan saat berbagai cara tidak mampu menarik hati kaumnya, mereka tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengatakan
“Dan kewajiban kami hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas.” (Q.S. Yaasiin : 17)
d.      Fathanah
       Fathanah yaitu cerdas. Rasul adalah manusia pilihan yang dipilih oleh Allah SWT. Untuk menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia. Maka semestinyalah rasul-rasul itu dipilih dari orang-orang yang paling sempurna akalnya, yang tergolong genius dalam cara berfikirnya, yang paling kuat hujjahnya. Dalam menyampaikan risalah Allah, tentu dibutuhkan kemampuan, diplomasi, dan strategi khusus agar wahyu dan risalah yang disampaikan bisa diterima dengan baik oleh manusia. Karena itu, seorang rasul wajib memiliki sifat cerdas. Kecerdasan ini sangat berfungsi terutama dalam menghadapi orang-orang yang membangkang dan menolak ajaran Islam.
Allah berfirman dalam Q.S. Al-Anbiya : 58-67 yang artinya :
“Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: "Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang dzalim".Mereka berkata: "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim".Mereka berkata: "(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan".Mereka bertanya: "Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?" Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara".Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan lalu berkata: "Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)", kemudian kepala mereka jadi tertunduk (lalu berkata): "Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara".Ibrahim berkata: "Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak (pula) memberi mudarat kepada kamu?" Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami?.”
   Demikianlah maka seorang rasul haruslah orang yang mempunyai kelebihan dan keistimewaan dalam cara berfikir dan caranya mengemukakan kebenaran wahyu yang disampaikan.
2.      Sifat Mustahil
Sifat mustahil adalah sifat yang tidak mungkin ada pada diri rasul. Sifat mustahil adalah lawan dari sifat wajib, yaitu sebagai berikut :
a.       Kidzib
Kidzib yaitu mustahil rasul itu bohong atau dusta. Semua perkataan dan perbuatan rasul tidak pernah bohong atau dusta.
Allah berfirman dalam Q.S. An-Najm : 2-4 yang artinya :
“kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”
b.      Khianat
Khianat yaitu mustahil rasul itu khianat. Semua yang diamanatkan kepadanya pasti dilaksanakan.
c.       Khitman
Khitman, yaitu mustahil rasul menyembunyikan kebenaran. Setiap firman Allah yang ia terima pasti ia sampaikan kepada umatnya.
d.      Baladah
Baladah yaitu mustahil rasul itu bodoh. Meskipun Rasulullah saw. Tidak bisa membaca dan menulis (ummi) tetapi beliau tetaplah pandai.


3.      Sifat Jaiz
Sifat jaiz rasul adalah sifat sebagai manusiawi yang melekat dalam dirinya. Seorang rasul tetaplah seorang manusia biasa yang berperilaku sebagaimana manusia. Tetapi tetap tidak mengurangi derajat kerasulan mereka di mata manusia. Jadi sifat jaiz yaitu sifat yang boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan seperti makan, minum, tidur, menikah, sakit, bekerja, dll. Bahkan seorang rasul tetap meninggal sebagai mana makhluk hidup yang lain.
“Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. Dan tidaklah Kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang tiada memakan makanan, dan tidak (pula) mereka itu orang-orang yang kekal.” (Q.S. Al-Anbiya’ : 7-8)
D.    Kemaksuman Para Nabi dan Rasul Allah
1. Pengertian Ismah
Ismah menurut bahasa adalah “memelihara”, sebagaimana dikatakan “dia memelihara makan”, artinya memelihara dari membolehkannya, “dia memelihara dari berbuat dosa”, artinya dia memelihara dari melakukannya. Secara etimologis, kata 'ishmah berarti: "perlindungan" atau "penjagaan"; adapun secara termonologis kata ini bermakna, "Penjagaan (atau perlindungan) Allah terhadap para nabi dari segala dosa baik yang besar maupun yang kecil." Atau dengan kata lain, Allah tidak pernah memberi kesempatan kepada para Nabi untuk dapat melakukan dosa karena Allah selalu menjaga dan melindungi mereka.
Adapun Ismah menurut syarak, adalah “Allah menjaga kepada para Nabi dan para Rasulnya jatuh ke dalam kedustaan dan kemaksiatan, mengerjakan kemungkaran, dan keharaman. Maka ismah selalu menetapi dan melazimi para Nabi, yaitu dari sifat-sifat mereka yang telah dimuliakan oleh Allah dengan adanya ismah itu. Maka tidak ada seorang pun yang memiliki ismah melainkan para Nabi, karena Allah telah memberi kepada mereka kenikmatan yang besar itu, yang tidak diberikan selain mereka, Allah telah menjaga mereka dari mengerjakan kemaksiatan dan kebohongan baik di waktu kecil atau setelah dewasa. Maka tidak mungkin bagi mereka mengerjakan maksiat atau mengingkari perintah Allah SWT.[7]
              Istilah Ismah yang sedang kita bahas ini disebutkan di banyak tempat dalam al-Quran. Misalnya ketika Nabi Nuh a.s. berkata kepada putranya: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir." (QS Hud [11]: 42). Tapi panggilan Nuh itu dijawab oleh anaknya dengan ucapan: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat melindungiku (ya'shimunî) dari air bah!" (QS Hud [11]: 43).
2. Jenis-jenis Kemaksuman
Kemaksuman secara umum dapat dibagi pada dua jenis, sebagai berikut :
Pertama, kemaksuman dalam ilmu, yaitu bahwa seorang nabi haruslah memiliki ilmu yang benar dan terjaga dari kesalahan. Kemaksuman ilmu ini mencakup empat hal yaitu :
1.        kemaksuman dalam akidah
2.        kemaksuman dalam menerima wahyu
3.        kemaksuman dalam menyampaikan dan menjelaskan risalah, kemaksuman dalam penjagaan risalah.
Kedua, kemaksuman dalam amal yaitu bahwa seorang nabi haruslah mengamalkan apa yang menjadi ajarannya dan tidak pernah lalai atau salah dalam mengamalkannya. Pada tahap ini, Nabi maksum dari dosa dan kekhilafan.[8]
  Dengan ini menunjukkan bahwa kemaksuman tidaklah menghilangkan potensi dan ikhtiar kemanusiaan. Kemaksuman berarti juga menghendaki agar Nabi menghindarkan dan mengendalikan diri dari hal-hal yang maksiat yang akan meruntuhkan kemaksuman dirinya. Jika kemaksuman dianggap bahwa Nabi tidak memiliki kemampuan untuk melakukan kemaksiatan maka ini berarti keterpaksaan (jabr). Akan tetapi yang benar adalah bahwa Nabi memiliki kemampuan untuk bermaksiat akan tetapi Nabi tidak akan mungkin melaksanakan kemaksiatan dan dosa tersebut (ingat jenis mustahil pelaksanaan yang di jelaskan sebelumnya).
  Allamah Thabathabai dalam Tafsir al- Mizan menulis, ‘sesungguhnya kemaksuman tidak membuat tabiat insan yang bebas menjadi keterpaksaan dan kehancuran. Bagaimana kemaksuman menjadi dasar ikhtiar? Coba bayangkan, jika seseorang yang menginginkan keselamatan mengetahui dalam satu gelas terdapat air beracuberacun yang mengakibatkan kematian, tentu ia akan menolak untuk meminum air tersebut dengan ikhtiarnya bukan terpaksa. Ia akan dianggap terpaksa jika ada yang memaksanya untuk meminum air tersebut atau melarangnya.
3. Mungkinnya Kemaksuman
Persoalannya sekarang ini apakah manusia mampu mencapai kemaksuman? Jika kita menyelami hakikat kemanusiaan, maka kita dapati bahwa kecenderungan pada kebaikan dan kebenaran merupakan watak dasar manusia (fitrah). Hanya saja, sebagian besar manusia tidak mampu mengendalikan dirinya untuk tetap berada pada watak dasarnya ini sehingga senantiasa melakukan tindakan baik dan benar. Jadi kemaksuman merupakan potensi awal manusia dan jika terus dijaga serta diaktualisasikan dalam kehidupan ini, maka ia akan terjaga dari kesalahan sepanjang hidupnya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kemaksuman itu milik semua manusia, bukan khusus untuk rasul atau nabi, tetapi ia merupakan syarat kerasulan atau kenabian. Dalam bahasa sederhana dapat dikatakan bahwa setiap nabi itu wajib maksum tetapi bukan setiap yang maksum itu rasul. Setiap manusia yang menerima anugerah dan mengikuti hidayah Allah boleh saja ia menjadi maksum tetapi bukan berarti ia menjadi Nabi.
            Berdasarkan hal di atas, maka kemaksuman bukanlah hal yang mustahil untuk dicapai manusia. Ja’far Subhani dalam bukunya Ishmah, telah menjelaskan bahwa kemaksuman setidaknya dapat terjadi dikarenakan tiga hal:[9]
1.        Ketakwaan yang tinggi kepada Allah swt. Kemaksuman merupakan salah satu bagian takwa, dan ketakwaan merupakan kondisi kejiwaanyang dapat memelihara manusia dari berbuat banyak kemaksiatan dan dosa, baik dalam tindakan, perkataan, bahkan pemikirannya.
2.        Ilmu yang sempurna akan akibat perbuatan. Misalkan saja ada wayar listrik yang terbuka, apakah anda akan memegangnya tanpa alat? Pasti jawabannya tidak, karena kita mengetahui bahwa memegang wayar yang berisi aliran listrik akan menyebabkan kecelakaan pada diri kita. Begitu pula dalam persoalan kemaksuman, di mana, Nabi dengan ilmunya yang sempurna mengetahui hakikat perbuatan dan akibat yang ditimbulkannya, dan jika ia mengetahui akibat itu akan mencelakakannya, maka ia tidak akan melakukannya.
3.    Kecintaan yang sempurna kepada Allah swt. Kecintaan kepada Allah akan membuat seseorang senantiasa menjaga agar Allah tetap mencintainya juga, sehingga akan tumbuh perasaan mengagungkan Allah yang membawanya pada kekuatan untuk senantiasa menjauhi hal-hal yang dibenci oleh Allah swt, karena akan menghancurkannya.
Dengan demikian jika kita menemui riwayat-riwayat tentang kesalahan para Nabi, maka diperlukan penelitian yang mendalam akan kebenaran riwayat tersebut dan penakwilan yang benar akan maknanya. Begitu pula, adanya sejumlah ayat yang mengesankan seolah-olah sejumlah nabi pernah berbuat dosa, hendaknya tidak dipahami dalam pengertian telah betul-betul melakukan perbuatan dosa. Akan tetapi, hal itu hanyalah semacam tark al-awla atau perbuatan meninggalkan yang utama. Maksudnya, di antara dua perbuatan baik, nabi bersangkutan justru memilih yang utama, padahal ia sepantasnya memilih yang lebih utama. Atau dengan kata lain, termasuk dalam kategori ungkapan : “Perbuatan baik untuk tingkatan abrar (orang-orang baik), adalah buruk untuk tingkatan muqarrabin (orang-orang dekat).” Karenanya setiap orang dituntut melakukan perbuatan sesuai dengan tingkatan ilmu dan kemampuannya.
E.     Nabi Muhammad sebagai Nabi Terakhir
            Khātam an-Nabiyyīn (Arab:خاتم النبيين) atau Penutup Para Nabi, merupakan julukan yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam syariat Islam disebutkan bahwa status kenabian telah berakhir setelah Nabi Muhammad SAW.[10] Hal ini berarti bahwa Nabi Muhammad merupakan nabi terakhir yang diperitahkan oleh Allah SWT dan tidak ada lagi nabi dan rasul setelah beliau. Selain itu, sebagai nabi terakhir, menunjukkan bahwa beliau menduduki martabat yang paling agung dan mulia daripada sekalian Nabi. Bahkan lebih mulia daripada sekalian makhluk yang diciptakan oleh Allah Ta’ala. Sebab garis keturunan (silsilah) kerohanian beliau berlaku terus sepanjang masa tidak dibatasi oleh ruang dan waktu seperti para Nabi sebelumnya Kepastian Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir difirmankan oleh Allah SWT dalam Al Qur’an surah  Al ahzab ayat 40.
            “ Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi     ia adalah utusan Allah dan penutup nabi-nabi.” (QS. Al Ahzab (33) : 40).
Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas bahwasannya nabi Muhammad merupakan nabi yang paling agung dan mulia. Hal tersebut karena Allah meninggikan derajatnya di atas nabi-nabi yang lain dan memberinya banyak gelar seperti, “sayyidul awwalin wa sayyidul aakhiriin” (pemimpin orang yang dahulu dan yang kemudian), “sayyidul mursalin” (pemimpin semua rasul), “asyraful anbiya’ “ (nabi yang paling mulia), dan “habiibullah” (kecintaan Allah).[11]
Sebagaimana kitab wahyu (Al Qur’an) merupakan kitab wahyu Allah yang paling terakhir diturunkan, maka beliaupun merupakan rasul penutup, yang tidak ada lagi rasul yang lain sesudahnya. Dan karena itu pula ajaran yang dibawanya merupakan syari’at Allah yang berlaku hingga hari kiamat.
Salah satu bukti kebesaran dan kelebihan beliau dibanding dengan rasul-rasul lainnya ialah bahwa semua rasul yang dibangkitkan diambil perjanjiannya, bahwa jika mereka (para nabi dan rasul sebelumnya) masih hidup ketika Muhammad nanti dirasulkan, maka mereka harus beriman kepadanya dan menjadi penolong dan pengikutnya. Hal tersebut telah dijalaskan dalam Al Qur’an, surah Ali Imran ayat 81. 
Ada beberapa konsekuensi darri kedudukan nabi Muhammad SAW sebagai rasul terakhir, yakni :
1.      Menghapus Risalah Sebelumnya
Risalah sebelumnya merupakan semua kitab dan hukum yang pernah diturunkan oleh Allah SWT kepada para nabi dan dikabarkan oleh Allah SWT di dalam Al Qur’an maupun di dalam As Sunnah yang shahih.  Kitab-kitab tersebut hukumnya telah di-nasakh (dihapuskan) oleh Al Qur’an, kecuali beberapa hukum dan kisah. Dan yang belum di-nasakh tersebut disebutkan secara jelas dalam Al Qur’an dan hadits.
2.      Membenarkan Para Nabi dan Rasul Sebelumnya
Maksudnya, Islam melalui kitabnya yakni Al Qur’an membenarkan keberadaan nabi-nabi sebelum nabi Muhammad SAW dan meyakini bahwa Allah SWT menurunkan kitab-kitab kepada para nabi dan rasul tersebut. Kita juga harus membenarkan jika seluruh berita yang ada dalam semua kitab-kitab tersebut datangnya dari Allah SWT.
3.      Penyempurna Risalah Sebelumnya
Dengan berakhirnya risalah kenabian kepada Nabi Muhammad SAW dan diturunkannya mukjizat Al Qur’an kepadanya, membuktikan bahwasannya ajaran-ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad telah sempurna dan menyempurnakan ajaran para nabi sebelumnya. Sebagaimana Allah berfirman,
Pada hari ini Aku telah menyempurnakan agamamu itu untukmu semua, dan Aku telah melengkapkan kenikmmatan-Ku padamu, dan Aku telah rela Islam itu sebagai agama untukmu semua.” (QS. Al-Maidah : 3).
4.      Berlaku untuk Semua Manusia
Perbedaan syariat Nabi Muhammad saw. dibandingkan para nabi sebelumnya adalah bahwa syariat beliau berlaku untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman. Hal ini berbeda dengan syariat para nabi yang lainnya yang hanya terbatas untuk umatnya saja.
Hal ini mengandung dua pelajaran bagi kita, yaitu: pertama, mengetahui hikmah Allah swt. dalam penetapan hukum bagi setiap umat, sehingga Allah swt. selalu menetapkan hukum yang sesuai bagi setiap umat. Kedua, oleh sebab itu hal ini meyakinkan kita bahwa Islam merupakan syari’at yang paling sempurna, paling lengkap, dan paling baik karena merupakan penutup dan penyempurna dari risalah semua nabi dan rasul. Serta sebagai agama yang bersifat mendunia. Sebagaimana Allah berfirman,
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira  dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”(QS. Saba’ (34): 28)





F.      Cara Dakwah Nabi Muhammad untuk Seluruh Umat
Dakwah (Arab: دعوة, da‘wah; "ajakan") adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam. Kata dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan atau ajakan. [12]
Ada beberapa metode atau cara yang dilakukan Rasulullah dalam menyampaikan dakwah kepada kaum atau umatnya, diantaranya
1.      Memberikan Peringatan (Al-Indzar)
Al Indzar yakni menyampaikan dakwah dimana isinya merupakan peringatan terhadap manusia tentanng adanya kehidupan akhirat dengan segala konsekuensinya. Al indzar ini sering dibarengi dengan ancaman hukuman bagi orang-orang yang tidak mengindahkan perintah Allah dan Rasulnya.
2.      Menggembirakan (Al Tabasyir)
Yakni, penyampaian dakwah yang berisi kabar-kabar yang menggembirakan bagi orang-orang yang ikut dakwah.
3.       Kasih Sayang dan Lemah Lembut (al Rifq wal al Lin)
Dalam menyampaikan dakwahnya Rasulullah bersikap kasih sayang dan lemah lembut. Sikap ini beliau lakukan terutama apabila beliau menghadapi orang-orang yang tingkat budayanya masih rendah.
4.      Memberikan Kemudahan (al-Taisir)
Agama Islam yang didakwahkan Nabi Muhammad SAW sarat dengan kemudahan.  Banyak aturan-aturan didalamnya yang dianggap menyulitkan oleh sebagian orang ternyata tidak demikian. Islam mengenal adanya rukhshah yaitu kemudahan-kemudahan yang diperoleh karena adanya sebab-sebab tertentu. Namun, Islam melarang pemeluknya untuk mempermudah dalam menjalankan agamanya.
5.      Tegas dan Keras (al Syiddah)
Sikap tegas dan keras, biasanya diperlihatkan Rasulullah dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah akidah, hak Allah, dan masalah dimana seorang sahabat masih mau melanggar larangan, padahal ia sudah tahu tentang hal itu.

DAFTAR PUSTAKA
Rousydiy, Lathief T.A., Agama dalam Kehidupan Manusia ‘Aqidah 3, Medan:          Rimbow,1998.
Ash-Shallabi, Ali Muhammad, Iman kepada Rasul, Jakarta: Ummul Qura, 2014.
Ali, Muhammad, Kenabian Dan Para Nabi, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993, cet. 1.
Ja’far Subhani. Ishmah al-Anbiya fi al-Quran al-Karim, Mu’awiniyatu Syu’uni al-   Ta’lim            wa al-Buhuts al-Islamiyah, 1413.
Musawi Lari, Mujtaba, Aqidah Alternatif. Jakarta: Al-Huda, 2005.
Hasbi, Teungku Muhammad, Al Islam 1, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2001. 
 (https://id.wikipedia.org/wiki/Cara Dakwah Nabi Muhammad
Muhammad, Ali, Iman Kepada Rasul, Jakarta: Ummul Qura, 2015.






  


[1] Ali Muhammad Ash-Shallabi, Iman kepada Rasul, (Jakarta: Ummul Qura, 2015), hlm 24
[2]Teungku, Muhammad Hasbi, Al Islam 1, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm.255
[3]Teungku, Muhammad Hasbi, Al Islam 1, hlm. 255
[4]Latief, Rousydy, Agama dalam Kehidupan Manusia ”Akidah 3”, (Jakarta: Rimbow, 1988), hlm. 269
[5] T.A. Lathief Rousyoliy, Agama dalam Kehidupan Manusia ‘Aqidah 3, (Medan, Rimbow) hlm. 248
[6] Ali Muhammad Ash-Shallabi, Iman kepada Rasul, (Jakarta, Ummul Qura) hlm. 126.
[7] Muhammad Ali Ash Shabuniy, Kenabian Dan Para Nabi, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), Cet 1, Hal 84-85
[8] Mujtaba Musawi Lari, Aqidah Alternatif. (Jakarta: Al-Huda, 2005), hal. 91.
[9] Ja’far Subhani. Ishmah al-Anbiya fi al-Quran al-Karim, (Mu’awiniyatu Syu’uni al-Ta’lim wa al-Buhuts al-Islamiyah, 1413), hal. 21-27
10Latief, Rousydy, Agama dalam Kehidupan Manusia ”Akidah 3”, hlm. 287

Tidak ada komentar:

Posting Komentar