RASUL
I.
PENDAHULUAN
Seluruh manusia mengakui adanya rasul yang memiliki beberapa
keistimewaan ataupun mukjizat. Adanya rasul dapat diterima oleh akal.
Rasul-rasul tersebut saling membenarkan satu dengan yang lainnya. Semua rasul
bertauhidkan Allah dan beriktikad bahwa Allah itu berilmu, berqudrat, beriradat
dan berhikmat. Rasul-rasul itu mengakui bahwa sebelum mereka, telah datang
rasul yang diutus Allah dan semua dari mereka menetapkan kepastian adanya hari
kiamat.
Sebagai umat muslim kita wajib percaya terhadap adanya nabi dan rasul
Allah SWT caranya yakni dengan beriman atau
mempercayai bahwa Allah telah memilih diantara manusia beberapa orang
utusanNya, yang berlaku sebagai perantara antara Allah dengan hambaNya. Mereka
bertugas menyampaikan kepada hamba Allah segala yang diterima dari Allah dengan
jalan wahyu dan menunjukkan manusia kepada jalan yang lurus, menuntun,
memimpin, membimbing manusia dalam menempuh jalan kesejahteraan dan keselamatan
dunia dan akhirat.
Oleh karena tugas yang telah diembannya tersebut membimbing manusia
ke jalan yang benar, maka sebagai umat muslim kita perlu mengenal siapa saja
nabi dan rasul yang diutus Allah. Tidak hanya nama, kita juga harus mengetahui
tugas-tugas beliau, sifat-sifat beliau dan bagaimana cara dakwah para nabi dan
rasul dalam mentauhidkan Allah SWT. Khususnya kepada Nabi Muhammad SAW sebagai
nabi terakhir sebagai tauladan dan pemberi rahmat bagi seluruh alam.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Apa yang
Dimaksud dengan Nabi dan Rasul ?
B.
Berapa
Jumlah Nabi dan Rasul yang Telah Dipilih oleh Allah?
C.
Bagaimana
Sifat-sifat Nabi dan Rasul Allah?
D.
Bagaimana
Kemaksuman Para Nabi dan Rasul Allah?
E.
Mengapa
Nabi Muhammad Disebut sebagai Nabi Terakhir?
F.
Bagaimana
Cara Dakwah Nabi Muhammad SAW untuk Seluruh Umat?
A.
Pengertian
Nabi dan Rasul Allah
[1]Ar-Rasul (الرسول) diambil dari kata al-irsal ((الإرسال, yang berarti utusan dan pengaraha. Dengan demikian, rasul
berarti delegasi, yaitu orang yang membawa berita dari orang yang mengutusnya.
Allah berfirman :
وَإَنّىمُرْسِلَةٌ إِليْهِم بِهَدِيَّةٍ فَنَاظِرَةُ ۢ بِمَ يَرْجِعُ
الْمُرْسَلُونَ
“Dan sungguh, aku akan mengirim utusan kepada
mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku) akan menunggu apa yang akan dibawa
kembali oleh para utusan itu.” (An-Naml:35)
Dengan
demikian, penyebutan rasul adalah dikarenakan Allah telah
mengutus dan mengirim mereka dengan membawa risalah kepada umat mereka, serta
membebankan kepada mereka agar membawa dan menyampaikan risalah tersebut. Allah
berfirman :
ثُمَّ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا تَتْرَا ۖ
“Kemudian kami utum rasul-rasul Kami
berturut-turut.” (Al-Mu’minun:44)
Rasul
adalah seorang yang diutus oleh Allah SWT kepada manusia, dari Tuhan untuk ciptaan-Nya
B.
Jumlah
Nabi dan Rasul
Bilangan Nabi dan Rasul Allah telah disebutkan dalam Al Qur’an dan
hadits. Baik 25 nabi dan rasul yang wajib kita imani maupun beberapa nabi-nabi
lainnya yang kita imani pula dengan
jumlah yang lebih banyak lagi.
1.
Jumlah
Nabi dan Rasul Allah dalam Al Qur’an
Para ulama menetapkan bahwa, setiap mukalaf harus mempercayai bahwa
Allah mengutus beberapa rasul dan mengutus beberapa nabi.[2] Di
dalam Al Qur’an disebutkan dengan jelas nama beserta kisah nabi dan rasul yang
wajib diimani oleh umat muslim berjumlah 25 orang. Delapan belas diantara dua
puluh lima nama nabi dan rasul tersebut disebutkan dalam ayat 83, 84, 85 dan 86
Surat AL An’am. Nabi dan rasul yang disebutkan dalam Q.S Al An’am diantaranya: Ibrahim,
Ishaq, Ya’qub, Nuh, Daud, Sulaiman, Ayub, Yusuf, Musa, Harun, Zakariya, Yahya,
Isa, Ilyasa, Ismail, Ilyas, Yunus dan Luth. Sedangkan tujuh rasul lainnya
diungkapkan di dalam beberapa ayat terpisah di dalam Al Qur’an. Diantaranya,
Adam, Idris, Shaleh, Syu’aib, Hud, Zulkifli dan nabi Muhammad SAW. Selain itu,
Allah juga menyebutkan beberapa nabi lain, tetapi tidak disebutkan namanya.[3]
Rasul-rasul yang namanya disebut dalam Al Qur’an wajib diimani
secara tafshili. Maksudnya kita harus yakin akan kerasulan mereka, mengenal
nama-nama dan pribadi mereka serta perjuangan mereka dalam rangka menyampaikan
risalah Allah kepada umat atau kaumnya. Sedangakan bagi nabi yang tidak
disebutkan namanya atau kecuali dari 25 nabi dan rasul yang telah disebutkan di
atas, cukup diimani secara ijmali. Yakni, kita beriman bahwa selain dari 25
nabi tersebut, masih terdapat nabi atau rasul yang tidak disebutkan namanya di
dalam Al Qur’an (cukup mengetahui saja). [4]
2.
Jumlah
Nabi dan Rasul Allah dalam Hadits Rasulullah
Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar r.a menyebutkan
bahwa ketika Rasulullah ditanya oleh sahabat mengenai jumlah nabi-nabi,
Rasulullah menjawab bahwa jumlah nabi adalah 124.000 dan 315 diantaranya adalah
seorang rasul. Pada hadits lainnya, yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim
mengungkapkan bahwa ketika Rasulullah ditanya tentang jumlah nabi dan rasul
beliau menjawab, “ Jumlah (nabi) seratus dua puluh ribu orang dan yang menjadi
rasul diantara mereka tiga ratus tiga belas orang.” (HR. Bukhari-Muslim).
C.
Sifat-sifat Nabi dan Rasul Allah
Gelar sebagai
Nabi dan Rasul tidak dapat diusahakan oleh siapapun. Karena gelar atau status
tersebut hanyalah semata-mata pemberian Allah SWT. Sebelum mengangkat seseorang
menjadi Rasul, Allah SWT. Telah menyiapkan dan memelihara kepribadian orang
tersebut ; memiliki jiwa yang utuh, nalar yang kuat, akhlak yang mulia.
Disamping itu diangkat dan tidaknya seseorang menjadi Nabi tergantung juga
kepada kondisi masyarakat dimana dia berada, apakah memang sangat membutuhkan
diutusnya seorang Nabi dan Rasul untuk memperbaiki dan membimbing kehidupan
mereka yang sudah sangat jauh menyimpang dari fitrah kemanusiaan.
Secara umum setiap Nabi dan Rasul
memiliki sifat-sifat yang mulia dan terpuji sesuai dengan statusnya sebagai
manusia pilihan Allah SWT. Rasul sebagai utusan Allah SWT. Memiliki sifat-sifat
yang melekat pada dirinya sebagai bentuk kebenaran seorang Rasul. Sifat-sifat
tersebut meliputi sifat wajib, sifat mustahil, dan sifat jaiz.
1.
Sifat
Wajib
Sifat wajib artinya sifat yang pasti ada pada
diri rasul. Sifat wajib ini ada 4, yaitu sebagai berikut ;
a.
Shiddiq
Shiddiq artinya benar. Apapun yang
dikatakan oleh seorang rasul selalu mengandung kebenaran baik itu niat,
keinginan, perkataan, maupun perbuatannya.
Firman Allah SWT. Dalam Q.S. Al-Haaqqah : 44-48 yang artinya :
Firman Allah SWT. Dalam Q.S. Al-Haaqqah : 44-48 yang artinya :
“Seandainya dia (Muhammad)
mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami. Niscaya benar-benar Kami
pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali
jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seseorang pun dari kamu yang dapat
menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu. Dan sesungguhnya Al-Qur’an
itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.”
Ayat ini menegaskan bahwa Rasul
(dalam hal ini Muhammad s.a.w. ) tidak berdusta, mengada-ada atas nama Allah.
Tetapi yang disampaikannya adalah wahyu, sebagai peringatan bagi yang bertaqwa.[5]
Demikian
pula dengan rasul-rasul lainnya diungkapkan pula didalam Al-Qur’an “Ceritakanlah
(hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini. Sesungguhnya ia
adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi.” (Q.S. Maryam : 41)
b.
Amanah
Amanah yaitu rasul selalu dapat
dipercaya. Jika suatu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa
urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.Semua rasul menyampaikan
perintah-perintah Allah dan larangan-laranganNya tanpa ditambahi atau
dikurangi, tanpa perubahan atau pemutar balikkan. Dia akan selalu menjaga
amanah kapan dan dimanapun, baik dilihat dan diketahui orang lain atau tidak
diketahui orang lain.
Firman
Allah SWT. :
“(yaitu) orang-orang yang
menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada
merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah
sebagai Pembuat Perhitungan.” (Q.S. Al-Ahzab : 39)
Seandainya sifat amanah tidak ada
pada diri rasul, maka berbagai risalah telah berubah dan manusia tidak akan
percaya kepada wahyu yang diturunkan.
c.
Tabligh
Tabligh artinya menyampaikan. Setiap
rasul Allah wajib menyampaikan segala apa yang diwahyukan oleh Allah dengan
terang tanpa mengurangi atau menambahi. Sebab dengan begitu dia telah menyalahi
perintah Allah dan mengkhianati amanah yang diberikan kepadanya. Karena inilah
kita melihat beberapa surah atau ayat-ayat Al-Qur’an dimulai dengan “Qul
(katakanlah).” Kalimat tersebut merupakan perintah yang ditujukan kepada Nabi
untuk disampaikan kepada umatnya. Contohnya pada Q.S. Al-Falaq : 1 “katakanlah
(Muhammad), ‘aku berlindung kepada Rabb yang menguasai shubuh.’” Beliau tidak mengatakan
“aku berlindung kepada Rabb yang menguasai shubuh, tanpa menyertakan kalimat
perintah dari Allah yang ditujukan kepadanya yaitu “Qul (katakanlah).” Beliau menyampaikan perintah yang ditujukan
kepadanya dengan bentuk kalimat dan huruf yang sama persis.[6]
Resiko penyampaian itu memang berat,
karena wahyu Allah yang disampaikan itu sering bersifat merombak tradisi yang
sudah membudaya ditengah masyarakat, baik yang menyangkut aqidah, syariat,
mu’amalat, dll. Oleh sebab itu banyak rasul-rasul itu dimusuhi oleh kaumnya.
Para rasul tidak hanya menyampaikan
saja, tetapi mereka juga berusaha sekuat tenaga dalam memberikan nasehat kepada
kaumnya untuk menerimanya. Mereka pun berdebat dan berdialog dengan kaumnya
dengan bahasa yang baik sampai kaumnya menerima atau mereka berputus asa dari
hal tersebut. Dan saat berbagai cara tidak mampu menarik hati kaumnya, mereka
tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengatakan
“Dan
kewajiban kami hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas.” (Q.S.
Yaasiin : 17)
d.
Fathanah
Fathanah yaitu cerdas.
Rasul adalah manusia pilihan yang dipilih oleh Allah SWT. Untuk menyampaikan
risalah-Nya kepada umat manusia. Maka semestinyalah rasul-rasul itu dipilih
dari orang-orang yang paling sempurna akalnya, yang tergolong genius dalam cara
berfikirnya, yang paling kuat hujjahnya. Dalam menyampaikan risalah Allah,
tentu dibutuhkan kemampuan, diplomasi, dan strategi khusus agar wahyu dan
risalah yang disampaikan bisa diterima dengan baik oleh manusia. Karena itu, seorang
rasul wajib memiliki sifat cerdas. Kecerdasan ini sangat berfungsi terutama
dalam menghadapi orang-orang yang membangkang dan menolak ajaran Islam.
Allah
berfirman dalam Q.S. Al-Anbiya : 58-67 yang artinya :
“Maka
Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang
terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk
bertanya) kepadanya. Mereka berkata: "Siapakah yang melakukan perbuatan
ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang dzalim".Mereka
berkata: "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini
yang bernama Ibrahim".Mereka berkata: "(Kalau demikian) bawalah dia
dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan".Mereka
bertanya: "Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan
kami, hai Ibrahim?" Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung yang besar
itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka
dapat berbicara".Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan
lalu berkata: "Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang
menganiaya (diri sendiri)", kemudian kepala mereka jadi tertunduk (lalu
berkata): "Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa
berhala-berhala itu tidak dapat berbicara".Ibrahim berkata: "Maka
mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat
sedikit pun dan tidak (pula) memberi mudarat kepada kamu?" Ah (celakalah)
kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami?.”
Demikianlah maka seorang rasul haruslah
orang yang mempunyai kelebihan dan keistimewaan dalam cara berfikir dan caranya
mengemukakan kebenaran wahyu yang disampaikan.
2.
Sifat
Mustahil
Sifat
mustahil adalah sifat yang tidak mungkin ada pada diri rasul. Sifat mustahil
adalah lawan dari sifat wajib, yaitu sebagai berikut :
a.
Kidzib
Kidzib
yaitu mustahil rasul itu bohong atau dusta. Semua perkataan dan perbuatan rasul
tidak pernah bohong atau dusta.
Allah
berfirman dalam Q.S. An-Najm : 2-4 yang artinya :
“kawanmu
(Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya
itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”
b.
Khianat
Khianat yaitu mustahil rasul itu
khianat. Semua yang diamanatkan kepadanya pasti dilaksanakan.
c.
Khitman
Khitman,
yaitu mustahil rasul menyembunyikan kebenaran. Setiap firman Allah yang ia
terima pasti ia sampaikan kepada umatnya.
d.
Baladah
Baladah yaitu mustahil rasul itu
bodoh. Meskipun Rasulullah saw. Tidak bisa membaca dan menulis (ummi) tetapi
beliau tetaplah pandai.
3.
Sifat
Jaiz
Sifat jaiz
rasul adalah sifat sebagai manusiawi yang melekat dalam dirinya. Seorang rasul
tetaplah seorang manusia biasa yang berperilaku sebagaimana manusia. Tetapi
tetap tidak mengurangi derajat kerasulan mereka di mata manusia. Jadi sifat
jaiz yaitu sifat yang boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan seperti makan,
minum, tidur, menikah, sakit, bekerja, dll. Bahkan seorang rasul tetap
meninggal sebagai mana makhluk hidup yang lain.
“Kami tiada mengutus rasul-rasul
sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri
wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu,
jika kamu tiada mengetahui. Dan tidaklah Kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang
tiada memakan makanan, dan tidak (pula) mereka itu orang-orang yang kekal.”
(Q.S. Al-Anbiya’ : 7-8)
D.
Kemaksuman
Para Nabi dan Rasul Allah
1. Pengertian Ismah
Ismah menurut bahasa adalah
“memelihara”, sebagaimana dikatakan “dia memelihara makan”, artinya memelihara
dari membolehkannya, “dia memelihara dari berbuat dosa”, artinya dia memelihara
dari melakukannya. Secara etimologis, kata 'ishmah berarti:
"perlindungan" atau "penjagaan"; adapun secara termonologis
kata ini bermakna, "Penjagaan (atau perlindungan) Allah terhadap para nabi
dari segala dosa baik yang besar maupun yang kecil." Atau dengan kata
lain, Allah tidak pernah memberi kesempatan kepada para Nabi untuk dapat
melakukan dosa karena Allah selalu menjaga dan melindungi mereka.
Adapun Ismah menurut syarak, adalah
“Allah menjaga kepada para Nabi dan para Rasulnya jatuh ke dalam kedustaan dan
kemaksiatan, mengerjakan kemungkaran, dan keharaman. Maka ismah selalu menetapi
dan melazimi para Nabi, yaitu dari sifat-sifat mereka yang telah dimuliakan
oleh Allah dengan adanya ismah itu. Maka tidak ada seorang pun yang memiliki
ismah melainkan para Nabi, karena Allah telah memberi kepada mereka kenikmatan
yang besar itu, yang tidak diberikan selain mereka, Allah telah menjaga mereka
dari mengerjakan kemaksiatan dan kebohongan baik di waktu kecil atau setelah
dewasa. Maka tidak mungkin bagi mereka mengerjakan maksiat atau mengingkari
perintah Allah SWT.[7]
Istilah Ismah yang sedang kita bahas
ini disebutkan di banyak tempat dalam al-Quran. Misalnya ketika Nabi Nuh a.s.
berkata kepada putranya: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami
dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir." (QS Hud [11]:
42). Tapi panggilan Nuh itu dijawab oleh anaknya dengan ucapan: "Aku akan
mencari perlindungan ke gunung yang dapat melindungiku (ya'shimunî) dari air
bah!" (QS Hud [11]: 43).
2. Jenis-jenis Kemaksuman
Kemaksuman secara umum dapat dibagi
pada dua jenis, sebagai berikut :
Pertama, kemaksuman dalam ilmu,
yaitu bahwa seorang nabi haruslah memiliki ilmu yang benar dan terjaga dari
kesalahan. Kemaksuman ilmu ini mencakup empat hal yaitu :
1.
kemaksuman
dalam akidah
2.
kemaksuman
dalam menerima wahyu
3.
kemaksuman
dalam menyampaikan dan menjelaskan risalah, kemaksuman dalam penjagaan risalah.
Kedua, kemaksuman dalam amal yaitu
bahwa seorang nabi haruslah mengamalkan apa yang menjadi ajarannya dan tidak
pernah lalai atau salah dalam mengamalkannya. Pada tahap ini, Nabi maksum dari
dosa dan kekhilafan.[8]
Dengan
ini menunjukkan bahwa kemaksuman tidaklah menghilangkan potensi dan ikhtiar
kemanusiaan. Kemaksuman berarti juga menghendaki agar Nabi menghindarkan dan
mengendalikan diri dari hal-hal yang maksiat yang akan meruntuhkan kemaksuman
dirinya. Jika kemaksuman dianggap bahwa Nabi tidak memiliki kemampuan untuk
melakukan kemaksiatan maka ini berarti keterpaksaan (jabr). Akan tetapi yang
benar adalah bahwa Nabi memiliki kemampuan untuk bermaksiat akan tetapi Nabi
tidak akan mungkin melaksanakan kemaksiatan dan dosa tersebut (ingat jenis
mustahil pelaksanaan yang di jelaskan sebelumnya).
Allamah
Thabathabai dalam Tafsir al- Mizan menulis, ‘sesungguhnya kemaksuman tidak
membuat tabiat insan yang bebas menjadi keterpaksaan dan kehancuran. Bagaimana
kemaksuman menjadi dasar ikhtiar? Coba bayangkan, jika seseorang yang
menginginkan keselamatan mengetahui dalam satu gelas terdapat air beracuberacun
yang mengakibatkan kematian, tentu ia akan menolak untuk meminum air tersebut
dengan ikhtiarnya bukan terpaksa. Ia akan dianggap terpaksa jika ada yang
memaksanya untuk meminum air tersebut atau melarangnya.
3. Mungkinnya Kemaksuman
Persoalannya sekarang ini apakah manusia mampu mencapai kemaksuman?
Jika kita menyelami hakikat kemanusiaan, maka kita dapati bahwa kecenderungan
pada kebaikan dan kebenaran merupakan watak dasar manusia (fitrah). Hanya saja,
sebagian besar manusia tidak mampu mengendalikan dirinya untuk tetap berada
pada watak dasarnya ini sehingga senantiasa melakukan tindakan baik dan benar. Jadi
kemaksuman merupakan potensi awal manusia dan jika terus dijaga serta
diaktualisasikan dalam kehidupan ini, maka ia akan terjaga dari kesalahan
sepanjang hidupnya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kemaksuman itu milik
semua manusia, bukan khusus untuk rasul atau nabi, tetapi ia merupakan syarat
kerasulan atau kenabian. Dalam bahasa sederhana dapat dikatakan bahwa setiap
nabi itu wajib maksum tetapi bukan setiap yang maksum itu rasul. Setiap manusia
yang menerima anugerah dan mengikuti hidayah Allah boleh saja ia menjadi maksum
tetapi bukan berarti ia menjadi Nabi.
Berdasarkan hal di
atas, maka kemaksuman bukanlah hal yang mustahil untuk dicapai manusia. Ja’far
Subhani dalam bukunya Ishmah, telah menjelaskan bahwa kemaksuman setidaknya
dapat terjadi dikarenakan tiga hal:[9]
1.
Ketakwaan
yang tinggi kepada Allah swt. Kemaksuman merupakan salah satu bagian takwa, dan
ketakwaan merupakan kondisi kejiwaanyang dapat memelihara manusia dari berbuat
banyak kemaksiatan dan dosa, baik dalam tindakan, perkataan, bahkan
pemikirannya.
2.
Ilmu
yang sempurna akan akibat perbuatan. Misalkan saja ada wayar listrik yang
terbuka, apakah anda akan memegangnya tanpa alat? Pasti jawabannya tidak,
karena kita mengetahui bahwa memegang wayar yang berisi aliran listrik akan
menyebabkan kecelakaan pada diri kita. Begitu pula dalam persoalan kemaksuman,
di mana, Nabi dengan ilmunya yang sempurna mengetahui hakikat perbuatan dan
akibat yang ditimbulkannya, dan jika ia mengetahui akibat itu akan
mencelakakannya, maka ia tidak akan melakukannya.
3.
Kecintaan
yang sempurna kepada Allah swt. Kecintaan kepada Allah akan membuat seseorang
senantiasa menjaga agar Allah tetap mencintainya juga, sehingga akan tumbuh
perasaan mengagungkan Allah yang membawanya pada kekuatan untuk senantiasa
menjauhi hal-hal yang dibenci oleh Allah swt, karena akan menghancurkannya.
Dengan
demikian jika kita menemui riwayat-riwayat tentang kesalahan para Nabi, maka
diperlukan penelitian yang mendalam akan kebenaran riwayat tersebut dan
penakwilan yang benar akan maknanya. Begitu pula, adanya sejumlah ayat yang
mengesankan seolah-olah sejumlah nabi pernah berbuat dosa, hendaknya tidak
dipahami dalam pengertian telah betul-betul melakukan perbuatan dosa. Akan
tetapi, hal itu hanyalah semacam tark al-awla atau perbuatan meninggalkan yang
utama. Maksudnya, di antara dua perbuatan baik, nabi bersangkutan justru
memilih yang utama, padahal ia sepantasnya memilih yang lebih utama. Atau
dengan kata lain, termasuk dalam kategori ungkapan : “Perbuatan baik untuk
tingkatan abrar (orang-orang baik), adalah buruk untuk tingkatan muqarrabin
(orang-orang dekat).” Karenanya setiap orang dituntut melakukan perbuatan
sesuai dengan tingkatan ilmu dan kemampuannya.
E.
Nabi
Muhammad sebagai Nabi Terakhir
Khātam an-Nabiyyīn (Arab:خاتم النبيين) atau Penutup Para Nabi, merupakan
julukan yang diberikan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad
SAW. Dalam syariat Islam
disebutkan bahwa status kenabian telah berakhir setelah Nabi Muhammad
SAW.[10]
Hal ini berarti bahwa Nabi Muhammad merupakan nabi terakhir yang diperitahkan
oleh Allah SWT dan tidak ada lagi nabi dan rasul setelah beliau. Selain itu,
sebagai nabi terakhir, menunjukkan bahwa beliau menduduki martabat yang paling
agung dan mulia daripada sekalian Nabi. Bahkan lebih mulia daripada sekalian
makhluk yang diciptakan oleh Allah Ta’ala. Sebab garis keturunan (silsilah)
kerohanian beliau berlaku terus sepanjang masa tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu seperti para Nabi sebelumnya
Kepastian Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir difirmankan oleh Allah
SWT dalam Al Qur’an surah Al ahzab ayat
40.
“
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu,
tetapi ia adalah utusan Allah dan
penutup nabi-nabi.” (QS. Al Ahzab (33) : 40).
Sebagaimana
yang telah diungkapkan di atas bahwasannya nabi Muhammad merupakan nabi yang
paling agung dan mulia. Hal tersebut karena Allah meninggikan derajatnya di
atas nabi-nabi yang lain dan memberinya banyak gelar seperti, “sayyidul awwalin
wa sayyidul aakhiriin” (pemimpin orang yang dahulu dan yang kemudian),
“sayyidul mursalin” (pemimpin semua rasul), “asyraful anbiya’ “ (nabi yang
paling mulia), dan “habiibullah” (kecintaan Allah).[11]
Sebagaimana
kitab wahyu (Al Qur’an) merupakan kitab wahyu Allah yang paling terakhir
diturunkan, maka beliaupun merupakan rasul penutup, yang tidak ada lagi rasul
yang lain sesudahnya. Dan karena itu pula ajaran yang dibawanya merupakan
syari’at Allah yang berlaku hingga hari kiamat.
Salah
satu bukti kebesaran dan kelebihan beliau dibanding dengan rasul-rasul lainnya
ialah bahwa semua rasul yang dibangkitkan diambil perjanjiannya, bahwa jika
mereka (para nabi dan rasul sebelumnya) masih hidup ketika Muhammad nanti
dirasulkan, maka mereka harus beriman kepadanya dan menjadi penolong dan
pengikutnya. Hal tersebut telah dijalaskan dalam Al Qur’an, surah Ali Imran
ayat 81.
Ada
beberapa konsekuensi darri kedudukan nabi Muhammad SAW sebagai rasul terakhir,
yakni :
1.
Menghapus Risalah Sebelumnya
Risalah sebelumnya merupakan semua kitab dan hukum
yang pernah diturunkan oleh Allah SWT kepada para nabi dan dikabarkan oleh
Allah SWT di dalam Al Qur’an maupun di dalam As Sunnah yang shahih. Kitab-kitab tersebut hukumnya telah di-nasakh
(dihapuskan) oleh Al Qur’an, kecuali beberapa hukum dan kisah. Dan yang belum
di-nasakh tersebut disebutkan secara jelas dalam Al Qur’an dan hadits.
2.
Membenarkan Para Nabi dan Rasul Sebelumnya
Maksudnya, Islam melalui kitabnya yakni Al Qur’an membenarkan
keberadaan nabi-nabi sebelum nabi Muhammad SAW dan meyakini bahwa Allah SWT
menurunkan kitab-kitab kepada para nabi dan rasul tersebut. Kita juga harus
membenarkan jika seluruh berita yang ada dalam semua kitab-kitab tersebut
datangnya dari Allah SWT.
3.
Penyempurna Risalah Sebelumnya
Dengan berakhirnya risalah kenabian kepada Nabi Muhammad SAW
dan diturunkannya mukjizat Al Qur’an kepadanya, membuktikan bahwasannya
ajaran-ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad telah sempurna dan menyempurnakan
ajaran para nabi sebelumnya. Sebagaimana Allah berfirman,
“ Pada hari ini Aku telah menyempurnakan agamamu itu
untukmu semua, dan Aku telah melengkapkan kenikmmatan-Ku padamu, dan Aku telah
rela Islam itu sebagai agama untukmu semua.” (QS. Al-Maidah : 3).
4.
Berlaku untuk Semua Manusia
Perbedaan syariat Nabi Muhammad saw. dibandingkan para nabi
sebelumnya adalah bahwa syariat beliau berlaku untuk seluruh ummat manusia
sampai akhir zaman. Hal ini berbeda dengan syariat para nabi yang lainnya yang
hanya terbatas untuk umatnya saja.
Hal ini mengandung dua pelajaran bagi kita, yaitu: pertama,
mengetahui hikmah Allah swt. dalam penetapan hukum bagi setiap umat, sehingga
Allah swt. selalu menetapkan hukum yang sesuai bagi setiap umat. Kedua, oleh
sebab itu hal ini meyakinkan kita bahwa Islam merupakan syari’at yang paling
sempurna, paling lengkap, dan paling baik karena merupakan penutup dan
penyempurna dari risalah semua nabi dan rasul.
Serta sebagai agama yang bersifat mendunia. Sebagaimana Allah berfirman,
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat
manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.”(QS. Saba’ (34): 28)
F.
Cara
Dakwah Nabi Muhammad untuk Seluruh Umat
Dakwah (Arab: دعوة, da‘wah; "ajakan")
adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk
beriman dan taat kepada Allah sesuai dengan garis aqidah,
syari'at dan akhlak Islam. Kata dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan atau
ajakan. [12]
Ada beberapa
metode atau cara yang dilakukan Rasulullah dalam menyampaikan dakwah kepada
kaum atau umatnya, diantaranya
1.
Memberikan Peringatan (Al-Indzar)
Al Indzar yakni menyampaikan dakwah dimana isinya merupakan
peringatan terhadap manusia tentanng adanya kehidupan akhirat dengan segala
konsekuensinya. Al indzar ini sering dibarengi dengan ancaman hukuman bagi
orang-orang yang tidak mengindahkan perintah Allah dan Rasulnya.
2.
Menggembirakan (Al Tabasyir)
Yakni, penyampaian dakwah yang berisi kabar-kabar yang
menggembirakan bagi orang-orang yang ikut dakwah.
3.
Kasih Sayang dan Lemah
Lembut (al Rifq wal al Lin)
Dalam menyampaikan dakwahnya Rasulullah bersikap kasih sayang
dan lemah lembut. Sikap ini beliau lakukan terutama apabila beliau menghadapi
orang-orang yang tingkat budayanya masih rendah.
4.
Memberikan Kemudahan (al-Taisir)
Agama Islam yang didakwahkan Nabi Muhammad SAW sarat dengan
kemudahan. Banyak aturan-aturan
didalamnya yang dianggap menyulitkan oleh sebagian orang ternyata tidak
demikian. Islam mengenal adanya rukhshah yaitu kemudahan-kemudahan yang
diperoleh karena adanya sebab-sebab tertentu. Namun, Islam melarang pemeluknya
untuk mempermudah dalam menjalankan agamanya.
5.
Tegas dan Keras (al Syiddah)
Sikap tegas dan keras, biasanya diperlihatkan Rasulullah
dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah akidah, hak Allah, dan masalah
dimana seorang sahabat masih mau melanggar larangan, padahal ia sudah tahu
tentang hal itu.
DAFTAR PUSTAKA
Rousydiy, Lathief T.A., Agama
dalam Kehidupan Manusia ‘Aqidah 3, Medan: Rimbow,1998.
Ash-Shallabi,
Ali Muhammad, Iman kepada Rasul,
Jakarta: Ummul Qura, 2014.
Ali, Muhammad, Kenabian
Dan Para Nabi, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993, cet. 1.
Ja’far Subhani. Ishmah al-Anbiya fi al-Quran al-Karim,
Mu’awiniyatu Syu’uni al- Ta’lim wa al-Buhuts al-Islamiyah, 1413.
Musawi Lari,
Mujtaba, Aqidah Alternatif. Jakarta: Al-Huda, 2005.
Hasbi, Teungku
Muhammad, Al Islam 1, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2001.
Muhammad,
Ali, Iman Kepada Rasul, Jakarta: Ummul Qura, 2015.
[1]
Ali Muhammad Ash-Shallabi, Iman kepada Rasul, (Jakarta: Ummul Qura,
2015), hlm 24
[2]Teungku,
Muhammad Hasbi, Al Islam 1, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm.255
[3]Teungku,
Muhammad Hasbi, Al Islam 1, hlm. 255
[4]Latief,
Rousydy, Agama dalam Kehidupan Manusia ”Akidah 3”, (Jakarta: Rimbow, 1988),
hlm. 269
[5] T.A. Lathief
Rousyoliy, Agama dalam Kehidupan Manusia
‘Aqidah 3, (Medan, Rimbow) hlm. 248
[6] Ali Muhammad
Ash-Shallabi, Iman kepada Rasul, (Jakarta, Ummul Qura) hlm. 126.
[7] Muhammad Ali
Ash Shabuniy, Kenabian Dan Para Nabi, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993),
Cet 1, Hal 84-85
[8] Mujtaba Musawi
Lari, Aqidah Alternatif. (Jakarta: Al-Huda, 2005), hal. 91.
[9]
Ja’far Subhani. Ishmah al-Anbiya fi al-Quran al-Karim, (Mu’awiniyatu
Syu’uni al-Ta’lim wa al-Buhuts al-Islamiyah, 1413), hal. 21-27
[12](https://id.wikipedia.org/wiki/Cara
Dakwah Nabi Muhammad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar