AL JARH WA TA’DIL
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang Masalah
Hadis sebagai pernyataan,
pengamalan, taqrir dan hal-ihwal nabi Muhammad SAW merupakan
sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alquran. Hadis sampai kepada kita
melalui jalan perawi. Dengan begitu para perawi merupakan pusat utama dalam
rangka mengetahui kesahihan hadis. Para ulama memperhatikan para periwayat
hadis dalam upaya membedakan antara hadis yang dapat diterima dan hadis yang
ditolak, yakni dengan memperhatikan keshalehan, kekuatan ingatan, kecermatan
dan akhlak setiap periwayat hadis. Pengalaman para ulama dalam mengkaji keadaan
periwayat hadis ini berkembang dan melahirkan kaidah-kaidah yang pada akhirnya
menjadi sebuah ilmu, disebut ‘Ilmu
al-Jarh wa at-Ta`dil.
Demikianlah ilmu ini tumbuh dan
berkembang bersama dengan tumbuhnya periwayatan, untuk
menentukan bobot dan kualitas dari suatu hadist. Sejak
dahulu para ulama menerangkan tentang cacat atau tidaknya seorang perawi
hadist, sehingga kita dapat menentukan nilai atau kualitas suatu hadist bagi
ulama berikutnya. Perihal perawi merupakan
objek kajian ilmu
hadits dirayah. Karena kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan kesahihan suatu
hadis, maka ilmu hadis dirayah membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan
untuk mengetahui keadaan perawi itu adalah melalui ilmu “al- Jarh wa al-Ta’dil’.
II.
Rumusan Massalah
a)
Apakah yang dimaksud Al Jarh Wa Ta’dil?
b)
Bagaimana sejarah dan perkembangan ilmu Al Jarh Wa Ta’dil?
c)
Apa Hukum dalam Al-jarh Wa Ta’dil?
d) Apa Kode Etik penelitian dan kritik hadis Al-jarh Wa
Ta’dil?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Al
Jarh Wa Ta’dil
A.
Arti Al Jarh
Menurut
bahasa, kata Al Jarh ( ﺍﻟﺠﺭﺡ ) merupakan
mashdar dari kata Jaraha-yajrahu-jarhan-jarahan yang artinya melukai, terkena luka
pada badan atau menilai cacat (kekurangan). Apabila terjadi pada tubuh, ia menyebabkan
mengalirnya darah, dan apabila digunakan oleh hakim pengadilan yang
ditunjukkan kepada saksi, ia berarti menolak atau menggugurkan kesaksiannya.[1]
Sedang menurut istilah Al Jarh
berarti upaya megungkap sifat sifat tercela dari periwayat hadist yang
menyebabkan lemah atau tertolaknya riwayat yang disampaikan.
Secara
terminologis, Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib mendefinisikan Al-Jarh sebagai
berikut:
ظهور وصف في الراوي يثلم
عدالته او يخل بحفطه و ضبته مما يتر تب عليه سقوط روايته او ضعفه و
ردها
“Nampaknya suatu sifat pada seorang perawi yang dapat
merusak nilai keadilannya atau melamahkan nilai hafalan dan ingatan, yang
karena sebab tersebut gugurlah periwayatannya atau ia dipandang lemah dan
tertolak”.[2]
Kata Al Tajrih merupakan bentuk transitif dari kata Al Jarh yang secara bahasa diartikan menilai cacat. Oleh sebab itu, keduanya
terkadang diartikan sama, yaitu menilai kecacatan periwayat hadist. Sementara itu
dari segi istilah, Al Tajrih artinya memberikan
sifat kepada periwayat hadis dengan beberapa sifat yang melemahkan atau
tertolaknya periwayatan.[3]
Baik al-jarh
maupun al-tajrih digunakan untuk menilai kelemahan atau cacat periwayat dalam
hal keadilan atau ke-dhabith-an yang berdampak kepada tertolaknya
periwayatan.
B.
Arti Al-Ta’dil
Dari
segi bahasa, al-ta’dil berasal dari kata al-‘adl (keadilan) yang artinya
sesuatu yang dirasakan lurus atau seimbang. Akar kata al-‘adl adalah
‘addala-yu’addilu-ta’dilan. dengan demikian, al-ta’dil artinya menilai adil
kepada seseorang periwayat atau membersihkan periwayat dari kesalahan atau
kecacatan.[4]
Antonim al-ta’dil adalah al-jaur yang artinya penyimpangan. Orang yang bersifat
adil persaksiannya diterima. Sementara itu, definisi al-‘adl dari segi istilah
adalah orang yang tidak tampak sesuatu yang mencederakan dalam urusan agama dan
kehormatan (muru’ah). Oleh sebab itu, berita dan persaksiannya diterima jika
memenuhi persyaratan.
Adapun al-ta’dil artinya memberikan sifat
kepada periwayat hadis dengan beberapa sifat yang membersihkannya dari
kesalahan dan kecacatan. Oleh sebab itu, tampak keadilan (pada dirinya) dan
diterima beritanya.
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa al-ta’dil berarti menilai adil
seorang periwayat hadis dengan sifat-sifat tertentu yang membersihkan dirinya
dari kecacatan berdasarkan sifat yang tampak dari luar.
Jadi
al-jarh ialah sifat kecacatan periwayat hadis yang menggugurkan keadilannya,
sedangkan al-tajrih ialah nilai kecacatan yang diberikan kepadanya. Adapun
al-‘adl ialah sifat keadilan periwayat hadis yang mendukung penerimaan berita
yang dibawanya, sedangkan al-ta’dil ialah nilai adil yang diberikan kepadanya.
Dengan
demikian, yang dimaksud ilmu jarh dan ta’dil ialah pengetahuan yang membahas
tentang keadaan periwayat hadis, baik mengenai catatannya ataupun kebersihannya
dengan menggunakan lafal-lafal tertentu sehingga diterima atau sebaliknya,
ditolak riwayatnya.
2. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Al Jarh dan Wa Ta’dil
Ilmu Al jarh wa ta’dil
telah ada sejak zaman
sahabat, yang telah berkembang sejalan dengan perkembangan periwayatan hadits
dalam Islam. Beberapa ulama bekerja mengembangkan dan menciptakan berbagai
kaidah, menyusun berbagai istilah, serta membuat berbagai metode penelitian sanad dan matan hadits, untuk “menyelamatkan” hadits Nabi dari “noda-noda”
yang merusak dan menyesatkan.[5]
Demikianlah sesungguhnya jarh
wa ta’dil adalah kewajiban Syar’i yang harus dilakukan.
Investigasi terhadap para perawi dan keadilan mereka bertujuan untuk mengetahui
apakah rawi itu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan
teliti, pada hadits, tidak sering dan tidak peragu. Semua ini merupakan suatu
keniscayaan. Kealpaan terhadap kondisi tersebut akan menyebabkan kedustaan
kepada Rasulullah SAW.[6]
Awal mula pertumbuhan ilmu ini adalah seperti yang dinukil dari
Nabi SAW sebagaimana telah disebutkan , lalu menjadi banyak dari para sahabat,
tabi’in, dan orang setelah mereka, karena takut terjadi seperti apa yang
diperingatkan oleh Rasulullah, sebagaimana sabdanya:[7]
سيكون في أخر امتي أناس يحدثونكم ما لم تسعوا أنتم ولا أباؤكم فإياكم
وإياهم
Artinya:
“Akan ada
pada umatku yang terahir nanti orang-orang yang menceritakan hadist kepada
kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar
sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka.”
Dari Yahya Bin Sa’ad al-Qatthan dia berkata, “ aku telah bertanya
kepada Sufyan ats-Tsaury, Syu’bah dan Malik serta Sufyan Ibn Uyanah tentang
seseorang yang tidak teguh dalam hadist, lalu seseorang datang kepadaku dan
bertanya tentang dia, mereka berkata, “kabarkan tentang dirinya bahwa hadistnya
tidaklah kuat.”
Dari abu ishaq al—Fazary dia berkata, “ tulislah dari Baqiyyah apa
yang telah dia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal, dan jangan engkau
menulis darinya apa yang telah dia riwayatkan
dari orang-orang yang tidak dikenal, dan janganlah kamu menulis dari
Isma’il Bin ‘Iyasy apa yang telah dia riwayatkan dari orang yang dikenal maupun
dari selain mereka”.
Dari bisyr bin umar dia berkata, “ aku telah bertanya kepada malik
bin anas tentang Muhammad Bin Abdurrahman yang meriwayatkan dari Sa’id Bin
Musayyib, maka dia berkata,” dia tidak tsiqah, dan aku bertanya kepadanya
tentang shalih budak at-Tawwamah, ia berkata, “ tidak tsiqah”, dan aku bertanya kepadanya tentang Abu al-Khuwairits, maka
dia berkata, “tidak tsiqah”, dan aku
bertanya kepadanya tentag syu’bah
yang telah meriwayatkan dari padanya Ibu Abi Dzi’b, maka dia berkata, “ dia
tidak tsiqah”, dan aku bertanya
kepadanya tentag haram bin utsman, maka dia berkata, “dia tidak tsiqah”. Dan
dari Syu’bah dari Yunus Bin ‘Ubaid dia berkata, “adalah Amr Bin Ubaid dia
berdusta dalam hadist.”[8]
3. Hukum dalam Men-jarh Wa Ta’dil
Telah dikatakan bahwa mencela orang yang meriwayatkan
hadist berarti menyingkapkan keaibannya agar riwayatnya ditolak dan menilai
adil seseorang yang meriwayatkan hadist berarti menetapkan orang itu adil
sehingga riwayatnya diterima.
Apabila seseorang dicela maka terbukalah rahasia
kehidupannya,tampaklah rahasia pribadinya yang selama itu tidak diketahui orang
lain untuk membuktikan seseorang itu majruh (tercela) bukanlah pekerjaan yang mudah akan tetapi
memerlukan penelitian yang mendalam dan usaha sungguh sungguh.
Demikian pula menyatakan seseorang itu adil harus
orang yang arif yaitu mengetahui duduk persoalan,orang yang mutqin yaitu orang
yang teguh riwayatnya, pendiriannya,dan tidak boleh taashub mashab dari golongan manapun.[9] Rasulullah SAW
bersabda, “Taukah kamu apa itu ghibah?
Mereka menjawab,Allah dan Rasulnya yang lebih mengetahui. Rasulullah menjawab, (ghibah)
adalah kamu menyebut keburukan saudaramu.... ”.
Al-qur’an dan hadist
membolehkan umat islam meneliti pembicaraan,menunjukkan bahwa dalam hal hal
tertentu dan keadaan terdesak karena untuk kepentingan syariat islam dan untuk
kemaslahatan umat maka meneliti hal ihwal dan tingkah laku seseorang, seperti orang
yang meriwayatkan hadist tidak dilarang bahkan merupakan kewajiban.
Dengan
demikian menyingkapkan nama baik perawi atau mencelanya diperbolehkan selama
untuk kepentingan periwayatan hadist. Tujuan akhir ulama menilai orang yang meriwayatkan
hadist tidak lain, kecuali untuk menemukan yang benar dan yang salah, menerangkan yang
hak dan yang bathil. Ulama bertindak demikian karena mereka bertanggung
jawab pada agama. Sebagaimana dimaklumi bahwa pertanggungjawaban pada
agama lebih berat daripada pertanggungjawaban pada harta dan kekayaan.
4. Kode
Etik Penelitian dan Kritik Hadis Al-jarh wa al-ta’dil
Periwayatan hadis tidak dapat dilakukan dengan sembarangan. Terdapat beberapa
aturan dalam melakukan penelitian dan kritik hadis. Ulama’ hadis telah
menetapkan syarat-syarat bagi kritikus periwayat (al-jarih wa al-muta’addil). Hanya kritikus yang memenuhi
persyaratan saja yang dipertimbangkan kritiknya untuk penetapan kualitas
periwayat. Syarat-syarat yang terkait dengan aspek subjektif yang harus
dipenuhi oleh seorang kritikus peruwayatan hadis cukup banyak.[10]
a. Syarat yang
bersifat dengan sikap pribadi:
1) Bersifat adil
2) Tidak fanatik
terhadap aliran yang di ikuti
3) Tidak bersikap
bermusuhan dengan periwayat yang berbeda aliran atau madzhab
4) Jujur
5) Takwa
6) wara’ (orang yang selalu
menjauhi perbuatan maksiat syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan
makruhat-makruhat).
b. Syarat yang
berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan
1) Islam
2) Bahasa arab
3) Hadis dan ilmu hadis
4) Pribadi periwayat
yang dikritik
5) Adat istiadat yang
berlaku(al-urf) dan sebab-sebab keutamaan dan ketercelaan periwayat.
Disamping syarat subjektif, terdapat norma kritik yang harus
dipegang oleh kritikus periwayat. Norma-norma itu ditetapkan oleh para ulama’
dengan tujuan memelihara objektivitas penilaian periwayat dan pemeliharaan ahlak mulia dalam melakukan
kritik. Tegasnya, kritikus periwayat yang memenuhi persyaratan subyektif
diharuskan pula memenuhi norma-norma
objektif agar penilaianya akurat dan valid. Norma-norma itu sebagai berikut:[11]
a. Dalam melakukan
kritik, periwayat tidak hanya mengemukakan sifat-sifat negatif dan tercela yang
dimiliki periwayat hadis, tetapi juga sifat-sifat positif dan utama (ta’dil). ini agar ada sebuah
pertimbangan penilaian dan dapat dijadikan pertimbangan apakah riwayatnya dapat
diterima atau tidak.
b. Penjelasan tentang sifat-sifat
positif dan utama (al-ta’dil) yang
dikemukakan oleh kritikus hadis tidak harus terperinci satu-persatu, tapi dapat
berupa penjelasan global. Seorang kritikus dapat diterima dengan ungkapan yang bersifat umum
seperti ungkapan tsiqah (terpercaya) untuk
mewakili karakter periwayat yang adil,
dan dhabith. Kata tsiqah dapat mewakili karakter-karakter
yang bersifat khusus, yaitu: islam, takwa, teguh dalam beragama, tidak berbuat
dosa kecil terus-menerus, dosa besar, maksiat, baik
ahlaknya, dapat dipercaya beritanya, biasanya benar, kuat hafalanya, cermat,
dan teliti.
c. Dalam mengemukakan
sifat-sifat negative tidak dilakukan
secara berlebihan. Ungkapan yang digunakan juga harus jelas aspek yang dikritik
apakah tentang kapasitas pribadi, kwalitas intelektual, atau
kedua-duanya.
Penjelasan harus pula dikemukakan secara etis sehingga nama baik periwayat
tidak dirusakkan oleh hal-hal yang tidak ada hubunganya dengan periwayatan
hadis. Kritik negatif tidak dimaksudkan untuk menjelek-jelekkan seseorang, tetapi
untuk menjaga hadis dari periwayat yang tidak kompeten baik secara pribadi
maupun intelektual yang menyebabkan kebenaran hadis itu diragukan. Sebagian
ulama’ memperbolehkan kritik negative diungkapkan secara global,
tetapi yang dimaksud secara global disini adalah pengungkapan dengan
istilah-istilah tertentu.
BAB III
PENUTUP
Dari pengertian diatas dapat
dikatakan ‘ilmu al-jarh wa at-ta’dil
mesti harus ada, karena tidak semua hadits Rasul itu diriwayatkan oleh orang
yang ‘adil dan dhabith serta membuka peluang bagi orang
yang tidak ‘adil dan dhabith, untuk meriwayatkan hadits
palsu.
Begitu juga tentang keadilan
sahabat, tentu kita semua memilih kepada pendapat yang mempunyai dasar yang
kuat. Allah Swt dan Rasulullah SAW menilai sahabat sebagai orang yang adil.
Mereka harus dinilai adil berdasarkan dengan apa yang mereka lakukan, yakni
membela agama, membantu dan menolong Rasulullah SAW, hijrah bersama beliau,
mengorbankan harta dan jiwa, memiliki komitmen terhadap persoalan agama,
melaksanakan hukum dan aturan aturannya, bersikap ketat dalam memenuhi perintah
Allah dan larangan-Nya.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Yunus,
Mahmud, Kamus
Arab-Indonesia, Jakarta: PT Mahmud
yunus wadzuryah,1990, cet 8.
Hadi,
Saeful, Ulumul Hadis, Panduan Ilmu Memahami Hadits Secara Komprehensif,
Yogyakarta: sabda media,tth.
Al-Khatib, ‘Ajjaj, Ushul Al-Hadits.Terj. H.M Qodirun dan Ahmad Musyafiq. Jakarta :
Gaya Media
Pratama. 2003.
Ismail, Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya,Jakarta: Gema
Insani Press, 1995.
al-Qaththan, Manna’Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta, pustaka al-kautsar, 2005, cet.1.
Nuruddin, Ulumul Hadis, Bandung,PT
Remaja rosdakarya,2012.
Idri,
Studi Hadis,Jakarta kencana prenada
media group, 2010, cet. 1.
[2] Saeful
Hadi, Ulumul Hadis, Panduan Ilmu Memahami Hadits Secara Komprehensif,
( Yogyakarta: Sabda Media,TTh,) hal111
[3] Ajjaj Al-Khatib,. Ushul
Al-Hadits.Terj. H.M Qodirun dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta : Gaya Media
Pratama. 2003. h. 233
[5] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi
Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya,(Jakarta: Gema Insani Press,
1995), hal. 52.
[6] ibid
[7] Manna’ al-Qaththan,Pengantar
Studi Ilmu Hadits ( Jakarta, pustaka al-kautsar, 2005), cet.1, hal. 84
Tidak ada komentar:
Posting Komentar