Kamis, 24 Maret 2016

Makalah Al-Jarh Wa Ta'dil



AL JARH WA TA’DIL 

BAB I
PENDAHULUAN


I.         Latar Belakang Masalah

 Hadis sebagai pernyataan, pengamalan, taqrir dan hal-ihwal nabi Muhammad SAW merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alquran. Hadis sampai kepada kita melalui jalan perawi. Dengan begitu para perawi merupakan pusat utama dalam rangka mengetahui kesahihan hadis. Para ulama memperhatikan para periwayat hadis dalam upaya membedakan antara hadis yang dapat diterima dan hadis yang ditolak, yakni dengan memperhatikan keshalehan, kekuatan ingatan, kecermatan dan akhlak setiap periwayat hadis. Pengalaman para ulama dalam mengkaji keadaan periwayat hadis ini berkembang dan melahirkan kaidah-kaidah yang pada akhirnya menjadi sebuah ilmu, disebut ‘Ilmu al-Jarh wa at-Ta`dil.
       Demikianlah ilmu ini tumbuh dan berkembang bersama dengan tumbuhnya periwayatan, untuk menentukan bobot dan kualitas dari suatu hadist. Sejak dahulu para ulama menerangkan tentang cacat atau tidaknya seorang perawi hadist, sehingga kita dapat menentukan nilai atau kualitas suatu hadist bagi ulama berikutnya. Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu hadits dirayah. Karena kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis, maka ilmu hadis dirayah membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi itu adalah melalui ilmu “al- Jarh wa al-Ta’dil’.

II.      Rumusan Massalah

a)      Apakah yang dimaksud Al Jarh Wa Tadil?
b)      Bagaimana sejarah dan perkembangan ilmu Al Jarh Wa Ta’dil?
c)      Apa Hukum dalam Al-jarh Wa Ta’dil?
d)     Apa Kode Etik penelitian dan kritik hadis Al-jarh Wa Ta’dil?




BAB II
PEMBAHASAN

1.         Pengertian Al Jarh Wa Ta’dil
A.     Arti Al Jarh
Menurut bahasa, kata Al Jarh ( ﺍﻟﺠﺭﺡ ) merupakan mashdar dari kata Jaraha-yajrahu-jarhan-jarahan yang artinya melukai, terkena luka pada badan atau menilai cacat (kekurangan). Apabila terjadi pada tubuh, ia menyebabkan mengalirnya darah, dan apabila digunakan oleh hakim pengadilan yang ditunjukkan kepada saksi, ia berarti menolak atau menggugurkan kesaksiannya.[1] Sedang menurut istilah Al Jarh berarti upaya megungkap sifat sifat tercela dari periwayat hadist yang menyebabkan lemah atau tertolaknya riwayat yang disampaikan.
Secara terminologis, Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib mendefinisikan Al-Jarh sebagai berikut:
ظهور وصف في الراوي يثلم عدالته او يخل بحفطه و ضبته مما يتر تب عليه سقوط روايته او ضعفه و ردها              
Nampaknya suatu sifat pada seorang  perawi yang dapat merusak nilai keadilannya atau melamahkan nilai hafalan dan ingatan, yang karena sebab tersebut gugurlah periwayatannya atau ia dipandang lemah dan tertolak.[2]
Kata Al Tajrih merupakan bentuk transitif dari kata Al Jarh yang secara bahasa diartikan menilai cacat. Oleh sebab itu, keduanya terkadang diartikan sama, yaitu menilai kecacatan periwayat hadist. Sementara itu dari segi istilah, Al Tajrih artinya memberikan sifat kepada periwayat hadis dengan beberapa sifat yang melemahkan atau tertolaknya periwayatan.[3]
  Baik al-jarh maupun al-tajrih digunakan untuk menilai kelemahan atau cacat periwayat dalam hal keadilan atau ke-dhabith-an yang berdampak kepada tertolaknya periwayatan.  
B.       Arti Al-Ta’dil
Dari segi bahasa, al-ta’dil berasal dari kata al-‘adl (keadilan) yang artinya sesuatu yang dirasakan lurus atau seimbang. Akar kata al-‘adl adalah ‘addala-yu’addilu-ta’dilan. dengan demikian, al-ta’dil artinya menilai adil kepada seseorang periwayat atau membersihkan periwayat dari kesalahan atau kecacatan.[4] Antonim al-ta’dil adalah al-jaur yang artinya penyimpangan. Orang yang bersifat adil persaksiannya diterima. Sementara itu, definisi al-‘adl dari segi istilah adalah orang yang tidak tampak sesuatu yang mencederakan dalam urusan agama dan kehormatan (muru’ah). Oleh sebab itu, berita dan persaksiannya diterima jika memenuhi persyaratan.
     Adapun al-ta’dil artinya memberikan sifat kepada periwayat hadis dengan beberapa sifat yang membersihkannya dari kesalahan dan kecacatan. Oleh sebab itu, tampak keadilan (pada dirinya) dan diterima beritanya. 
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa al-ta’dil berarti menilai adil seorang periwayat hadis dengan sifat-sifat tertentu yang membersihkan dirinya dari kecacatan berdasarkan sifat yang tampak dari luar.
Jadi al-jarh ialah sifat kecacatan periwayat hadis yang menggugurkan keadilannya, sedangkan al-tajrih ialah nilai kecacatan yang diberikan kepadanya. Adapun al-‘adl ialah sifat keadilan periwayat hadis yang mendukung penerimaan berita yang dibawanya, sedangkan al-ta’dil ialah nilai adil yang diberikan kepadanya.
Dengan demikian, yang dimaksud ilmu jarh dan ta’dil ialah pengetahuan yang membahas tentang keadaan periwayat hadis, baik mengenai catatannya ataupun kebersihannya dengan menggunakan lafal-lafal tertentu sehingga diterima atau sebaliknya, ditolak riwayatnya.     
    
2. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Al Jarh dan Wa Ta’dil
Ilmu Al jarh wa ta’dil telah ada sejak zaman sahabat, yang telah berkembang sejalan dengan perkembangan periwayatan hadits dalam Islam. Beberapa ulama bekerja mengembangkan dan menciptakan berbagai kaidah, menyusun berbagai istilah, serta membuat berbagai metode penelitian sanad dan matan hadits, untuk “menyelamatkan” hadits Nabi dari “noda-noda” yang merusak dan menyesatkan.[5]
Demikianlah sesungguhnya jarh wa ta’dil adalah kewajiban Syar’i yang harus dilakukan. Investigasi terhadap para perawi dan keadilan mereka bertujuan untuk mengetahui apakah rawi itu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti, pada hadits, tidak sering dan tidak peragu. Semua ini merupakan suatu keniscayaan. Kealpaan terhadap kondisi tersebut akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah SAW.[6]
Awal mula pertumbuhan ilmu ini adalah seperti yang dinukil dari Nabi SAW sebagaimana telah disebutkan , lalu menjadi banyak dari para sahabat, tabi’in, dan orang setelah mereka, karena takut terjadi seperti apa yang diperingatkan oleh Rasulullah, sebagaimana sabdanya:[7]
سيكون في أخر امتي أناس يحدثونكم ما لم تسعوا أنتم ولا أباؤكم فإياكم وإياهم
 Artinya:
Akan ada pada umatku yang terahir nanti orang-orang yang menceritakan hadist kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka.
Dari Yahya Bin Sa’ad al-Qatthan dia berkata, “ aku telah bertanya kepada Sufyan ats-Tsaury, Syu’bah dan Malik serta Sufyan Ibn Uyanah tentang seseorang yang tidak teguh dalam hadist, lalu seseorang datang kepadaku dan bertanya tentang dia, mereka berkata, “kabarkan tentang dirinya bahwa hadistnya tidaklah kuat.”
Dari abu ishaq al—Fazary dia berkata, “ tulislah dari Baqiyyah apa yang telah dia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal, dan jangan engkau menulis darinya apa yang telah dia riwayatkan  dari orang-orang yang tidak dikenal, dan janganlah kamu menulis dari Isma’il Bin ‘Iyasy apa yang telah dia riwayatkan dari orang yang dikenal maupun dari selain mereka”.
Dari bisyr bin umar dia berkata, “ aku telah bertanya kepada malik bin anas tentang Muhammad Bin Abdurrahman yang meriwayatkan dari Sa’id Bin Musayyib, maka dia berkata,” dia tidak tsiqah, dan aku bertanya kepadanya tentang shalih budak at-Tawwamah, ia berkata, “ tidak tsiqah”, dan aku bertanya kepadanya tentang Abu al-Khuwairits, maka dia berkata, “tidak tsiqah”, dan aku bertanya kepadanya tentag syu’bah yang telah meriwayatkan dari padanya Ibu Abi Dzi’b, maka dia berkata, “ dia tidak tsiqah”, dan aku bertanya kepadanya tentag haram bin utsman, maka dia berkata, “dia tidak tsiqah”. Dan dari Syu’bah dari Yunus Bin ‘Ubaid dia berkata, “adalah Amr Bin Ubaid dia berdusta dalam hadist.”[8]
3.  Hukum dalam Men-jarh Wa Ta’dil
Telah dikatakan bahwa mencela orang yang meriwayatkan hadist berarti menyingkapkan keaibannya agar riwayatnya ditolak dan menilai adil seseorang yang meriwayatkan hadist berarti menetapkan orang itu adil sehingga riwayatnya diterima.
Apabila seseorang dicela maka terbukalah rahasia kehidupannya,tampaklah rahasia pribadinya yang selama itu tidak diketahui orang lain untuk membuktikan seseorang itu majruh (tercela) bukanlah pekerjaan yang mudah akan tetapi memerlukan penelitian yang mendalam dan usaha sungguh sungguh.
Demikian pula menyatakan seseorang itu adil harus orang yang arif yaitu mengetahui duduk persoalan,orang yang mutqin yaitu orang yang teguh riwayatnya, pendiriannya,dan tidak boleh taashub mashab dari golongan manapun.[9] Rasulullah SAW bersabda, “Taukah kamu apa itu ghibah? Mereka menjawab,Allah dan Rasulnya yang lebih mengetahui. Rasulullah menjawab, (ghibah) adalah kamu menyebut keburukan saudaramu.... ”.
Al-qur’an dan hadist membolehkan umat islam meneliti pembicaraan,menunjukkan bahwa dalam hal hal tertentu dan keadaan terdesak karena untuk kepentingan syariat islam dan untuk kemaslahatan umat maka meneliti hal ihwal dan tingkah laku seseorang, seperti orang yang meriwayatkan hadist tidak dilarang bahkan merupakan kewajiban.
            Dengan demikian menyingkapkan nama baik perawi atau mencelanya diperbolehkan selama untuk kepentingan periwayatan hadist. Tujuan akhir ulama menilai orang yang meriwayatkan hadist tidak lain, kecuali untuk menemukan yang benar dan yang salah, menerangkan yang hak dan yang bathil. Ulama bertindak demikian karena mereka bertanggung jawab pada agama. Sebagaimana dimaklumi bahwa pertanggungjawaban pada agama lebih berat daripada pertanggungjawaban pada harta dan kekayaan.

4. Kode Etik Penelitian dan Kritik Hadis Al-jarh wa al-ta’dil
Periwayatan hadis tidak dapat dilakukan dengan sembarangan. Terdapat beberapa aturan dalam melakukan penelitian dan kritik hadis. Ulama’ hadis telah menetapkan syarat-syarat bagi kritikus periwayat (al-jarih wa al-muta’addil). Hanya kritikus yang memenuhi persyaratan saja yang dipertimbangkan kritiknya untuk penetapan kualitas periwayat. Syarat-syarat yang terkait dengan aspek subjektif yang harus dipenuhi oleh seorang kritikus peruwayatan hadis cukup banyak.[10]
a.       Syarat yang bersifat dengan sikap pribadi:
1)      Bersifat adil
2)      Tidak fanatik terhadap aliran yang di ikuti
3)      Tidak bersikap bermusuhan dengan periwayat yang berbeda aliran atau madzhab
4)      Jujur
5)      Takwa
6)      wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat).
b.      Syarat yang berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan
1)      Islam
2)      Bahasa arab
3)      Hadis dan ilmu hadis
4)      Pribadi periwayat yang dikritik
5)   Adat istiadat yang berlaku(al-urf) dan sebab-sebab keutamaan dan ketercelaan periwayat.
Disamping syarat subjektif, terdapat norma kritik yang harus dipegang oleh kritikus periwayat. Norma-norma itu ditetapkan oleh para ulama’ dengan tujuan memelihara objektivitas penilaian periwayat dan pemeliharaan ahlak mulia dalam melakukan kritik. Tegasnya, kritikus periwayat yang memenuhi persyaratan subyektif diharuskan  pula memenuhi norma-norma objektif agar penilaianya akurat dan valid. Norma-norma itu sebagai berikut:[11]
a.       Dalam melakukan kritik, periwayat tidak hanya mengemukakan sifat-sifat negatif dan tercela yang dimiliki periwayat hadis, tetapi juga sifat-sifat positif dan utama (ta’dil). ini agar ada sebuah pertimbangan penilaian dan dapat dijadikan pertimbangan apakah riwayatnya dapat diterima atau tidak.
b.      Penjelasan tentang sifat-sifat positif dan utama (al-ta’dil) yang dikemukakan oleh kritikus hadis tidak harus terperinci satu-persatu, tapi dapat berupa penjelasan global. Seorang kritikus dapat diterima dengan ungkapan yang bersifat umum seperti ungkapan tsiqah (terpercaya) untuk mewakili karakter periwayat yang adil, dan dhabith. Kata tsiqah dapat mewakili karakter-karakter yang bersifat khusus, yaitu: islam, takwa, teguh dalam beragama, tidak berbuat dosa kecil terus-menerus, dosa besar, maksiat, baik ahlaknya, dapat dipercaya beritanya, biasanya benar, kuat hafalanya, cermat, dan teliti.
c.       Dalam mengemukakan sifat-sifat negative tidak dilakukan secara berlebihan. Ungkapan yang digunakan juga harus jelas aspek yang dikritik apakah tentang kapasitas pribadi, kwalitas intelektual, atau kedua-duanya. Penjelasan harus pula dikemukakan secara etis sehingga nama baik periwayat tidak dirusakkan oleh hal-hal yang tidak ada hubunganya dengan periwayatan hadis. Kritik negatif tidak dimaksudkan untuk menjelek-jelekkan seseorang, tetapi untuk menjaga hadis dari periwayat yang tidak kompeten baik secara pribadi maupun intelektual yang menyebabkan kebenaran hadis itu diragukan. Sebagian ulama’ memperbolehkan  kritik negative diungkapkan secara global, tetapi yang dimaksud secara global disini adalah pengungkapan dengan istilah-istilah tertentu.
BAB III
PENUTUP
Dari pengertian diatas dapat dikatakan ‘ilmu al-jarh wa at-ta’dil mesti harus ada, karena tidak semua hadits Rasul itu diriwayatkan oleh orang yang ‘adil dan dhabith serta membuka peluang bagi orang yang tidak ‘adil dan dhabith, untuk meriwayatkan hadits palsu.
Begitu juga tentang keadilan sahabat, tentu kita semua memilih kepada pendapat yang mempunyai dasar yang kuat. Allah Swt dan Rasulullah SAW menilai sahabat sebagai orang yang adil. Mereka harus dinilai adil berdasarkan dengan apa yang mereka lakukan, yakni membela agama, membantu dan menolong Rasulullah SAW, hijrah bersama beliau, mengorbankan harta dan jiwa, memiliki komitmen terhadap persoalan agama, melaksanakan hukum dan aturan aturannya, bersikap ketat dalam memenuhi perintah Allah dan larangan-Nya.















BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Yunus,  Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT Mahmud yunus wadzuryah,1990, cet 8.
Hadi, Saeful, Ulumul Hadis, Panduan Ilmu Memahami Hadits Secara Komprehensif, Yogyakarta: sabda media,tth.
Al-Khatib, ‘Ajjaj, Ushul Al-Hadits.Terj. H.M Qodirun dan Ahmad Musyafiq. Jakarta : Gaya         Media Pratama. 2003.
Ismail, Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya,Jakarta:                  Gema Insani Press, 1995.
al-Qaththan, Manna’Pengantar Studi Ilmu Hadits,  Jakarta, pustaka al-kautsar, 2005, cet.1.
Nuruddin, Ulumul Hadis, Bandung,PT Remaja rosdakarya,2012.
Idri, Studi Hadis,Jakarta kencana prenada media group, 2010, cet. 1.




[1] Mahmud yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Mahmud yunus wadzuryah, 1990), cet 8, hal.86
[2] Saeful Hadi, Ulumul Hadis, Panduan Ilmu Memahami Hadits Secara Komprehensif, ( Yogyakarta: Sabda Media,TTh,) hal111
[3] Ajjaj Al-Khatib,. Ushul Al-Hadits.Terj. H.M Qodirun dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta : Gaya Media Pratama. 2003. h. 233
[4] Mahmud yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Mahmud yunus wadzuryah, 1990), cet 8, hal.258

[5] Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya,(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 52.
[6] ibid
[7] Manna’ al-Qaththan,Pengantar Studi Ilmu Hadits ( Jakarta, pustaka al-kautsar, 2005), cet.1, hal. 84
[8] Manna’ al-Qaththan, Op.Cit, Hal 85
[9] M. Abdurrahman,Elan Sumarna,Metode Kritik Hadist,Bandung,PT Remaja Rosdakarya 2011 hal 62-63
[10] Idri, Studi Hadis, (Jakarta, kencana prenada media group, 2010), cet. 1, hal. 296
[11] Idri, Ibid, hal 296-297

Tidak ada komentar:

Posting Komentar