Kamis, 24 Maret 2016

KISAH ILMU KALAM



KISAH ILMU KALAM
Sejak pertengahan abad kesatu H perpecahan politik di dunia Islam mulai tampak jelas seiring munculnya berbagai kelompok politik-teologis, semisal Sunniy, Kharawij, dan Syiah. Sedangkan dalam Peradaban Arab Islam pra-modern yang sangat teosentris setiap kelompok politik –tentunya- memerlukan landasan teologis dengan mengemukakan dalil-dalil agama (al Qur`an & al Hadits) dalam dakwahnya. Oleh karena itu, pada masa yang sama muncul pula perbedaan dalam pemilihan –dan penafsiran- atas ayat-ayat al Qur`an sebagai dalil dan sumber pemikiran agama yang paling utama.
Kelompok Khawarij selalu saja mengkritik dan terkadang memberontak terhadap para penguasa Kekhalifahan Umawiyah dan Kekhalifahan Abbasiyah yang merupakan keturunan bangsa Arab khususnya kabilah Quraisy. Karena secara mendasar mereka mendakwahkan persamaan di antara sesama muslim, sesuai dengan tafsir tekstualis ayat “Inna akrama-kum ‘inda Allâh atqâ-kum.” (QS. al Hujurat: 13). Sekaligus meyakini bahwa orang muslim yang tidak mengikuti hukum Allah itu hukumnya menjadi kafir, sesuai dengan tafsir tekstualis ayat “Wa man lam yahkum bimâ anzala Allâh fa-ulaika-hum al kâfirûn.” (QS. al Maidah: 44).
Kelompok Syiah melalui para imam selalu mendakwahkan diri sebagai para imam ahli waris Nabi Muhammad yang tertindas oleh para penguasa Kekhalifahan Umawiyah dan Kekhalifahan Abbasiyah. Mereka berdalih dengan tafsir isyâriy / ta`wîliy ayat “Wa nurîdu an namunna ‘alâ alladzîna ustudh’ifû fî al ardh , wa naj’ala-hum aimmah wa naj’ala-hum al wâritsîn.” (QS. al Qashash: 5).
Kelompok penguasa resmi (Kekhalifahan Umawiyah dan Kekhalifahan Abbasiyah) yang diasumsikan sebagai Kelompok Sunniy sering menekan dan menghancurkan kelompok pengganggu dan –atau- pemberontak semisal Kelompok Khawarij dan Kelompok Syiah. Mereka berlindung di bawah tafsir tekstualis ayat “Innamâ jazâu alladzîna yuhâribûna (a)llâh wa rasûla-hu wa yas’auna fî al ardh(i) fasâd(an) an yuqattalû aw yushallabû aw tuqaththa’a aidî-him wa arjulu-hum min khilâf(in) aw yunfau min al ardh , dzalika la-hum khizy(un) fi al dunyâ wa la-hum fî al akhirah ‘adzâb(un) ‘adzîm(un).” (QS. al Maidah: 33).
Sejak pertengahan abad kesatu H perpecahan politik di dunia Islam memunculkan berbagai kelompok politik-teologis (Sunniy, Syiah, dan Kharawij) yang disertai pertumpahan darah di antara mereka sebagai sesama muslim. Hal ini kemudian mengakibatkan perdebatan teologis sehingga memunculkan kelompok teologis Jabariyah dan Qadariyah.
Menurut Jabariyah: Allah merupakan pencipta segala sesuatu dan memiliki kehendak serta kekuasaan secara mutlak. Sehingga segala sesuatu –semisal pemerintahan Bani Umawiyah dan pertumpahan darah sesama muslim- adalah dengan seizin dan kehendak Allah. Sesuai dalil tekstualis : ( أنّا كل شيء خلقناه بقدر ) ( والله خلقكم وما تعملون ) (  فعّال لما يريد)
Menurut Qadariyah: Manusia memiliki kehendak dan berkuasa atas aktivitasnya sehingga kemudian layak menerima tanggung jawab (taklif). Sesuai dalil tekstualis : (الذين أمنوا و عملوا الصالحات  ) ( من عمل صالحا فلنفسه  ) (  و ما تفعلوا من خير)
Dalam Peradaban Arab Islam pra modern yang sangat teosentris dunia politik dan dunia pemikiran teologi memang tampak saling terkait dan mempengaruhi satu dengan yang lain. Seperti yang tampak dalam munculnya Kelompok Khawarij dengan konsep Khilâfah-nya dan –atau- Kelompok Syiah Imamiyah dengan konsep Imâmiyah-nya di penghujung masa Khalifah al Rasyidin. Kemudian munculnya ide Qadariyah dan ide Irjâ` (Murjiah) hingga ide ‘Itizâl (Muktazilah) serta ide Jahmiyah pada masa Kekhalifahan Umawiyah.
Pada 132 H keluarga Bani al Abbas berhasil menggulingkan kekuasaan Kekhalifahan Umawiyah melalui kerjasama dengan kelompok-kelompok oposisi yang lain. Semisal kelompok Syiah (pendukung keluarga Bani Thalib) dan kelompok Muktazilah. Setelah mulai mapan berkuasa keluarga Bani al Abbas kemudian tampak menyimpang dari kelompok Syiah dan lebih condong ke kelompok Muktazilah. Yakni Khalifah al Manshur al Abbasiy diketahui bersahabat dekat dengan seorang Muktazilah bernama Amr bin Ubaid (w. 144) yang memiliki pandangan-pandangan kontroversial (bid’ah) mengenai al Qur`an dan kurang suka dengan kelompok Syiah. Menurut al Suyuthiy pada tahun 145 H Khalifah al Manshur al Abbasiy memerangi dan membunuh Muhammad dan Ibrahim –putra Abdullah bin Hasan bin al Hasan bin Ali bin Abi Thalib- beserta kelompok Syiah yang dipimpinnya. Khalifah juga menghukum para ulama yang dianggapnya mendukung kedua keturunan keluarga Bani Thalib (Alawiyah) tersebut, semisal Abu Hanifah dan Abdul Hamid Ja’far serta Ibn ‘Ajlan.
Pada pertengahan abad kedua H kota Baghdad dibangun oleh Khalifah al Manshur untuk dijadikan ibukota Kekhalifahan Abbasiyah. Selanjutnya pada paruh akhir abad kedua H dan paruh awal abad ketiga H Baghdad pun tampak mengalami masa-masa paling dinamis dalam kehidupan politik dan keagamaannya. Seiring berubah-ubahnya kebijakan politik keagamaan yang dipilih oleh para khalifah Abbasiyah. Khalifah al Manshur (khalifah kedua Abbasiyah berkuasa 136-158 H) menekan kelompok Syiah dan –namun- dekat  dengan kelompok Muktazilah. Khalifah al Rasyid (khalifah kelima Abbasiyah berkuasa 170-193 H) memenjarakan tokoh Muktazilah Baghdad bernama Basyar bin al Mu’tamir (w. 210 H) karena turut mengusung gagasan Khalq al Qur`an –yang pertama kali digagas oleh Jahm bin Sofwan (w. 127 H). Khalifah al Makmun (khalifah ketujuh Abbasiyah berkuasa 198-218 H) mendukung kelompok Muktazilah dan gagasan Khalq al Qur`an mereka.
Khalifah al Makmun diketahui berhubungan dan dekat dengan para tokoh Muktazilah. Di antaranya Tsumamah bin Asyras al Numeiriy (w. Pasca 231 H) yang menarik Khalifah al Makmun bergabung dengan kelompok Muktazilah, Abu Hudzeil (w. 227 H) serta al Nidham (w. 220-230 H) yang keduanya diundang Khalifah al Makmun untuk bergabung pasca masuknya khalifah di Baghdad pada 204 H, Ahmad bin Abu Dawud (w. 240 H) yang dipercaya menjadi salah satu dari sepuluh anggota majelis Khalifah al Makmun, dan Hisyam bin Amr al Fuwathiy.
Pada tahun 212 H Khalifah al Makmun al Abbasiy tampak mendukung kelompok Muktazilah dengan menggulirkan secara resmi gagasan Khalq al Qur`an. Di samping mendukung kelompok Syiah dengan mengagung-agungkan Ali bin Abi Thalib atas sahabat-sahabat Nabi Muhammad yang lain. Selanjutnya, pada Rabiul Awal 218 H Khalifah al Makmun pun memerintahkan Ishaq bin Ibrahim untuk menguji para ulama ahli Hadis dan Fikih –semisal Ahmad bin Hanbal- mengenai gagasan Khalq al Qur`an tersebut.
Pada akhir masa Khalifah al Makmun al Abbasiy dinamika kehidupan keagamaan di Baghdad meninggi terkait isu Khalq al Qur`an –yang sebenarnya mulai mengusik Baghdad pada masa Khalifah al Rasyid. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu sebab disusunnya Kitab Fahm al Qur`an wa Ma’ânî-hi oleh al Muhasibiy (165 – 243 H) yang secara tersurat menolak pemikiran teologis kelompok Muktazilah dan kelompok Jahmiyah termasuk gagasan Khalq al Qur`an mereka.
Al Muhasibiy merupakan seorang teolog sufi yang mempercayai akal sebagai –salah satu- sumber pemahaman dan penafsiran al Qur`an. Hal inilah yang kemudian mengakibatkannya kurang disukai bahkan cenderung dimusuhi oleh para ahli Hadis pengikut Ahmad bin Hanbal yang cenderung tekstualis dan menghindari penggunaan logika dalam pemahaman dan penafsiran al Qur`an.
Al Muhasibiy layak dianggap sebagai salah satu perintis rasionalisme teologi Sunniy (Madzhab Teologi Sunniy Khalafiy). Hal ini bisa dibuktikan melalui keberadaan karya tulisnya yang berjudul Kitab Māiyah al ‘Aql dan Kitab Fahm al Qur`ān wa Ma’ānihi : keduanya diterbitkan oleh Ahmad Attas di Leiden pada 1968 M. Kemudian diterbitkan kembali di Beirut pada 1971 M dengan di-tahqîq oleh Husein al Qutliy. Kitab Māiyah al ‘Aql (Hakikat Akal) naskah manuskripnya tersimpan di Perpustakaan Jarullah Istanbul Turki. Kitab Fahm al Qur`ān wa Ma’ānihi (Tafsir al Qur`an) naskah manuskripnya tersimpan di Perpustakaan Salimiyah Halk Kutuphanesi Edirne Turki.
Al Muhasibiy (w. 243 H) layak dianggap sebagai salah satu perintis rasionalisme teologi Sunniy (Madzhab Teologi Sunniy Khalafiy) lebih dahulu daripada Abu al Hasan al Asy’ariy al Syafi’iy (w. 324 H) dan Abu Manshur al Maturidiy al Hanafiy (w. 333 H). Al Muhasibiy hidup sezaman dengan Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) yang terkenal sebagai tokoh (pengusung?) Madzhab Teologi Sunniy Salafiy.
Teologi Sunniy berkembang dalam dua paradigma: Salafiy dan Khalafiy. Paradigma Salafiy menjadi paradigma Teologi yang dominan di antara umat Islam Ahlussunnah Waljamaah yang hidup pada abad kesatu H hingga abad ketiga H. Sedangkan Paradigma Khalafiy menjadi paradigma Teologi yang dominan di antara umat Islam Ahlussunnah Waljamaah yang hidup pada abad keempat H hingga masa sekarang. Bagaimanapun: as-Salafu Aslamu wal Khalafu Ashlahu.
Sejumlah ulama bisa digolongkan sebagai teolog salafiy. Misalnya Malik bin Anas (w. 179 H), al Syafi’iy (w. 204 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), al Bukhariy (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), Ibnu Khuzaimah (w. 311 H), Ibnu Taimiyah (w. 728 H), Ibnu al Qayyim al Jauziyah (751 H), dan al Suyuthiy (w. 911 H).
Sejumlah ulama bisa digolongkan sebagai teolog khalafiy. Misalnya al Muhasibiy (w. 243 H), Abu al Hasan al Asy’ariy (w. 324 H), Abu Manshur al Maturidiy (w. 333 H), al Baqilaniy (w. 403 H), al Juweiniy Imam al Haramain (w. 478 H), al Ghazaliy (w. 505 H), Fakhruddin al Raziy (w. 606 H).
Pada pertengahan abad ketujuh H Kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad runtuh akibat serangan bangsa Mongol yang secara rahasia mendapat bantuan Kelompok Syiah. Seiring hal ini kemudian berdirilah kerajaan Daulah Mamalik di Mesir yang wilayahnya mencakup Syiria dan Jazirah Arabia serta Afrika Utara.
Pasca runtuhnya kekhalifahan abbasiyah Baghdad Baghdad serta berdirinya kerajaan daulah mamalik kairo tampak terjadi perubahan nuansa dalam kajian ilmu kalam. Yakni ilmu kalam menjadi lebih diwarnai oleh para ulama ahli hadits yang cenderung beraliran sunni salafiy. Misalnya Ibnu Taimiyah (661 – 728 ) dengan al Risâlah al Tadammuriyah dan Ma’ârij al Wushûl, Ibnu al Qayyim al Jauziyah (691 – 751 H) dengan A’lâm al Muwqi’în ‘an Rabb al ‘Âlamîn, dan al Suyuthiy (w. 911 H) dengan Shaun al Manthûq wa al Kalâm. Meskipun ilmu kalam khalafiy sejatinya justru semakin sistematis di tangan al Ijiy Abdurrahman bin Ahmad (w. 756 H) dengan al Mawâqif dan al Sanusiy Muhammad bin yusuf (w. 892 H) dengan Umm al Barâhin.
Pada abad kesepuluh H (abad ke 16 M) kaum kristen eropa berhasil menaklukkan andalusia dan mengakhiri keberadaan kerajaan islam di eropa. Kemudian berusaha melakukan kolonialisasi seluruh dunia sambil menyebarkan agama Kristen dengan (gold, gospel, glory).
Pada masa kolonialisasi (abad 10 – 13 H / abad 16 – 19 M) kaum Kristen eropa yang berhasil menguasai sebagian negeri-negeri islam. Hal ini kemudian mengakibatkan munculnya sejumlah pergerakan politik-teologis yang diinspirasi oleh pembaharuan-pembaharuan para pemikir modernis islam. Misalnya Abdullah bin Wahab di Arab Saudi dan Muhammad Abduh di Mesir.
Pada pertengahan abad 14 H (pertengahan abad 20 M) bangsa-bangsa Asia-Afrika yang sebagiannya beragama Islam berhasil memerdekakan diri dari kolonialisasi bangsa Eropa. Paska “masa kemerdekaan” tersebut Teologi Islam tampak lebih dikembangkan dalam nuansa yang lebih humanis (antroposentris) dengan mengagungkan nilai-nilai kebebasan (liberalisme) dan demokrasi (sosialisme) oleh para pemikir post-modernis islam. Semisal Harun Nasution, Hasan Hanafi, Amina Wadud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar