KISAH ILMU KALAM
Sejak pertengahan abad kesatu H perpecahan politik di dunia Islam mulai tampak jelas seiring munculnya berbagai kelompok
politik-teologis, semisal Sunniy, Kharawij, dan Syiah. Sedangkan dalam Peradaban
Arab Islam pra-modern yang sangat teosentris setiap kelompok politik
–tentunya- memerlukan landasan teologis dengan mengemukakan dalil-dalil agama
(al Qur`an & al Hadits) dalam
dakwahnya. Oleh karena itu, pada masa yang sama muncul pula perbedaan dalam
pemilihan –dan penafsiran- atas ayat-ayat al Qur`an sebagai dalil dan sumber
pemikiran agama yang paling utama.
Kelompok Khawarij selalu saja mengkritik dan terkadang memberontak
terhadap para penguasa Kekhalifahan Umawiyah dan Kekhalifahan Abbasiyah yang
merupakan keturunan bangsa Arab khususnya kabilah Quraisy. Karena secara
mendasar mereka mendakwahkan persamaan di antara sesama muslim, sesuai dengan
tafsir tekstualis ayat “Inna akrama-kum ‘inda Allâh atqâ-kum.” (QS. al
Hujurat: 13). Sekaligus meyakini bahwa orang muslim yang tidak mengikuti hukum
Allah itu hukumnya menjadi kafir, sesuai dengan tafsir tekstualis ayat “Wa
man lam yahkum bimâ anzala Allâh fa-ulaika-hum al kâfirûn.” (QS. al
Maidah: 44).
Kelompok Syiah melalui para imam selalu mendakwahkan diri sebagai
para imam ahli waris Nabi Muhammad yang tertindas oleh para penguasa
Kekhalifahan Umawiyah dan Kekhalifahan Abbasiyah. Mereka berdalih dengan tafsir
isyâriy / ta`wîliy ayat “Wa nurîdu an namunna ‘alâ
alladzîna ustudh’ifû fî al ardh , wa naj’ala-hum aimmah wa naj’ala-hum al
wâritsîn.” (QS. al Qashash: 5).
Kelompok penguasa resmi (Kekhalifahan Umawiyah dan Kekhalifahan
Abbasiyah) yang diasumsikan sebagai Kelompok Sunniy sering menekan dan
menghancurkan kelompok pengganggu dan –atau- pemberontak semisal Kelompok
Khawarij dan Kelompok Syiah. Mereka berlindung di bawah tafsir tekstualis ayat
“Innamâ jazâu alladzîna yuhâribûna (a)llâh wa rasûla-hu wa yas’auna
fî al ardh(i) fasâd(an) an yuqattalû aw yushallabû aw tuqaththa’a aidî-him wa
arjulu-hum min khilâf(in) aw yunfau min al ardh , dzalika la-hum khizy(un) fi
al dunyâ wa la-hum fî al akhirah ‘adzâb(un) ‘adzîm(un).” (QS. al Maidah:
33).
Sejak pertengahan abad kesatu H perpecahan politik di dunia Islam memunculkan
berbagai kelompok politik-teologis (Sunniy, Syiah, dan Kharawij) yang disertai
pertumpahan darah di antara mereka sebagai sesama muslim. Hal ini kemudian mengakibatkan perdebatan
teologis sehingga memunculkan kelompok teologis Jabariyah dan Qadariyah.
Menurut
Jabariyah: Allah merupakan pencipta segala sesuatu dan memiliki kehendak serta kekuasaan
secara mutlak. Sehingga
segala sesuatu –semisal pemerintahan Bani Umawiyah dan pertumpahan darah sesama
muslim- adalah dengan seizin dan kehendak Allah. Sesuai dalil
tekstualis : (
أنّا كل شيء خلقناه بقدر ) ( والله خلقكم وما تعملون ) ( فعّال لما يريد)
Menurut
Qadariyah: Manusia memiliki kehendak dan berkuasa atas aktivitasnya sehingga
kemudian layak menerima tanggung jawab (taklif). Sesuai dalil tekstualis : (الذين أمنوا و عملوا الصالحات ) ( من عمل صالحا فلنفسه ) ( و ما تفعلوا من خير)
Dalam Peradaban Arab Islam
pra modern
yang sangat teosentris dunia politik dan dunia pemikiran teologi memang tampak
saling terkait dan mempengaruhi satu dengan yang lain. Seperti yang tampak
dalam munculnya Kelompok Khawarij dengan konsep Khilâfah-nya dan –atau-
Kelompok Syiah Imamiyah dengan konsep Imâmiyah-nya di penghujung masa Khalifah
al Rasyidin. Kemudian munculnya ide Qadariyah dan ide Irjâ`
(Murjiah) hingga ide ‘Itizâl (Muktazilah) serta ide Jahmiyah pada
masa Kekhalifahan Umawiyah.
Pada 132 H keluarga Bani al Abbas berhasil menggulingkan kekuasaan
Kekhalifahan Umawiyah melalui kerjasama dengan kelompok-kelompok oposisi yang
lain. Semisal kelompok Syiah (pendukung keluarga Bani Thalib)
dan kelompok Muktazilah. Setelah mulai mapan berkuasa keluarga
Bani al Abbas kemudian tampak menyimpang dari kelompok Syiah dan lebih
condong ke kelompok Muktazilah. Yakni Khalifah al Manshur al Abbasiy diketahui bersahabat dekat dengan
seorang Muktazilah bernama Amr bin Ubaid (w. 144) yang
memiliki pandangan-pandangan kontroversial (bid’ah) mengenai al Qur`an
dan kurang suka dengan kelompok Syiah. Menurut al Suyuthiy pada tahun 145 H
Khalifah al Manshur al Abbasiy memerangi dan membunuh Muhammad dan Ibrahim
–putra Abdullah bin Hasan bin al Hasan bin Ali bin Abi Thalib- beserta kelompok
Syiah yang dipimpinnya. Khalifah juga menghukum para ulama yang dianggapnya
mendukung kedua keturunan keluarga Bani Thalib (Alawiyah) tersebut, semisal Abu
Hanifah dan Abdul Hamid Ja’far serta Ibn ‘Ajlan.
Pada pertengahan abad kedua H kota Baghdad dibangun oleh Khalifah
al Manshur untuk dijadikan ibukota Kekhalifahan Abbasiyah. Selanjutnya pada
paruh akhir abad kedua H dan paruh awal abad ketiga H Baghdad pun tampak
mengalami masa-masa paling dinamis dalam kehidupan politik dan keagamaannya. Seiring berubah-ubahnya kebijakan politik
keagamaan yang dipilih oleh para khalifah Abbasiyah. Khalifah al Manshur (khalifah kedua
Abbasiyah berkuasa 136-158 H) menekan kelompok Syiah dan –namun-
dekat dengan
kelompok Muktazilah. Khalifah al Rasyid (khalifah kelima Abbasiyah
berkuasa 170-193 H) memenjarakan tokoh Muktazilah Baghdad bernama Basyar bin al
Mu’tamir (w. 210 H) karena turut mengusung gagasan Khalq al Qur`an
–yang pertama kali digagas oleh Jahm bin Sofwan (w. 127 H). Khalifah al Makmun
(khalifah ketujuh Abbasiyah berkuasa 198-218 H) mendukung kelompok Muktazilah
dan gagasan Khalq al Qur`an mereka.
Khalifah al Makmun diketahui
berhubungan dan dekat dengan para tokoh Muktazilah. Di antaranya Tsumamah bin
Asyras al Numeiriy (w. Pasca 231 H) yang menarik Khalifah al Makmun bergabung
dengan kelompok Muktazilah, Abu Hudzeil (w. 227 H) serta al Nidham (w. 220-230
H) yang keduanya diundang Khalifah al Makmun untuk bergabung pasca masuknya
khalifah di Baghdad pada 204 H, Ahmad
bin Abu Dawud (w. 240 H) yang dipercaya menjadi salah satu dari sepuluh anggota
majelis Khalifah al Makmun, dan Hisyam bin Amr al Fuwathiy.
Pada tahun 212 H Khalifah al Makmun al Abbasiy tampak mendukung kelompok Muktazilah dengan menggulirkan secara
resmi gagasan Khalq al Qur`an. Di samping mendukung kelompok Syiah
dengan mengagung-agungkan Ali bin Abi Thalib atas sahabat-sahabat Nabi Muhammad
yang lain. Selanjutnya, pada Rabiul Awal 218 H Khalifah al Makmun pun memerintahkan
Ishaq bin Ibrahim untuk menguji para ulama ahli Hadis dan Fikih –semisal Ahmad
bin Hanbal- mengenai gagasan Khalq al Qur`an tersebut.
Pada akhir masa Khalifah al Makmun al Abbasiy dinamika kehidupan
keagamaan di Baghdad meninggi terkait isu Khalq al Qur`an
–yang sebenarnya mulai mengusik Baghdad pada masa Khalifah al Rasyid. Hal inilah yang kemudian menjadi
salah satu sebab disusunnya Kitab Fahm al Qur`an wa
Ma’ânî-hi oleh al Muhasibiy (165 – 243 H) yang secara tersurat menolak
pemikiran teologis kelompok Muktazilah dan kelompok Jahmiyah termasuk gagasan Khalq
al Qur`an mereka.
Al Muhasibiy merupakan
seorang teolog sufi yang mempercayai akal sebagai –salah satu- sumber pemahaman
dan penafsiran al Qur`an. Hal inilah yang kemudian mengakibatkannya kurang
disukai bahkan cenderung dimusuhi oleh para ahli Hadis pengikut Ahmad bin
Hanbal yang cenderung tekstualis dan menghindari penggunaan logika dalam
pemahaman dan penafsiran al Qur`an.
Al Muhasibiy layak
dianggap sebagai salah satu perintis rasionalisme teologi Sunniy (Madzhab
Teologi Sunniy Khalafiy). Hal ini bisa dibuktikan melalui keberadaan karya
tulisnya yang berjudul Kitab Māiyah al ‘Aql dan Kitab Fahm al Qur`ān wa Ma’ānihi : keduanya diterbitkan
oleh Ahmad Attas di Leiden pada 1968 M. Kemudian diterbitkan
kembali di Beirut pada 1971 M dengan di-tahqîq oleh Husein al Qutliy. Kitab Māiyah al ‘Aql (Hakikat Akal)
naskah manuskripnya tersimpan di Perpustakaan Jarullah Istanbul Turki. Kitab Fahm
al Qur`ān wa Ma’ānihi (Tafsir al Qur`an) naskah manuskripnya tersimpan di
Perpustakaan Salimiyah Halk Kutuphanesi Edirne Turki.
Al Muhasibiy (w. 243 H) layak dianggap sebagai
salah satu perintis rasionalisme teologi Sunniy (Madzhab Teologi Sunniy Khalafiy)
lebih dahulu daripada Abu al Hasan al Asy’ariy al Syafi’iy (w. 324 H) dan Abu
Manshur al Maturidiy al Hanafiy (w. 333 H). Al Muhasibiy hidup sezaman
dengan Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) yang terkenal sebagai tokoh (pengusung?)
Madzhab Teologi Sunniy Salafiy.
Teologi
Sunniy berkembang dalam dua paradigma: Salafiy dan Khalafiy. Paradigma Salafiy menjadi
paradigma Teologi yang dominan di antara umat Islam Ahlussunnah Waljamaah yang
hidup pada abad kesatu H hingga abad ketiga H. Sedangkan Paradigma Khalafiy
menjadi paradigma Teologi yang dominan di antara umat Islam Ahlussunnah
Waljamaah yang hidup pada abad keempat H hingga masa sekarang. Bagaimanapun: as-Salafu
Aslamu wal Khalafu Ashlahu.
Sejumlah
ulama bisa digolongkan sebagai teolog salafiy. Misalnya Malik bin Anas (w. 179
H), al Syafi’iy (w. 204 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), al Bukhariy (w. 256 H),
Muslim (w. 261 H), Ibnu Khuzaimah (w. 311 H), Ibnu Taimiyah (w. 728 H), Ibnu al
Qayyim al Jauziyah (751 H), dan al Suyuthiy (w. 911 H).
Sejumlah
ulama bisa digolongkan sebagai teolog khalafiy. Misalnya al Muhasibiy (w. 243
H), Abu al Hasan al Asy’ariy (w. 324 H), Abu Manshur al Maturidiy (w. 333 H), al Baqilaniy
(w. 403 H), al Juweiniy Imam al Haramain (w. 478 H), al Ghazaliy (w. 505 H), Fakhruddin
al Raziy (w. 606 H).
Pada
pertengahan abad ketujuh H Kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad runtuh
akibat serangan bangsa Mongol yang secara rahasia mendapat bantuan Kelompok
Syiah. Seiring hal ini kemudian berdirilah kerajaan Daulah Mamalik di Mesir
yang wilayahnya mencakup Syiria dan Jazirah Arabia serta Afrika Utara.
Pasca
runtuhnya kekhalifahan abbasiyah Baghdad Baghdad serta berdirinya kerajaan
daulah mamalik kairo tampak terjadi perubahan nuansa dalam kajian ilmu kalam.
Yakni ilmu kalam menjadi lebih diwarnai oleh para ulama ahli hadits yang
cenderung beraliran sunni salafiy. Misalnya Ibnu Taimiyah (661 – 728 ) dengan
al Risâlah al Tadammuriyah dan Ma’ârij al Wushûl, Ibnu al Qayyim al Jauziyah (691
– 751 H) dengan A’lâm al Muwqi’în ‘an Rabb al ‘Âlamîn, dan al Suyuthiy (w. 911
H) dengan Shaun al Manthûq wa al Kalâm. Meskipun ilmu kalam khalafiy sejatinya
justru semakin sistematis di tangan al Ijiy Abdurrahman bin Ahmad (w. 756 H)
dengan al Mawâqif dan al Sanusiy Muhammad bin yusuf (w. 892 H) dengan Umm al Barâhin.
Pada abad
kesepuluh H (abad ke 16 M) kaum kristen eropa berhasil menaklukkan andalusia dan
mengakhiri keberadaan kerajaan islam di eropa. Kemudian berusaha melakukan
kolonialisasi seluruh dunia sambil menyebarkan agama Kristen dengan (gold,
gospel, glory).
Pada masa
kolonialisasi (abad 10 – 13 H / abad 16 – 19 M) kaum Kristen eropa yang
berhasil menguasai sebagian negeri-negeri islam. Hal ini kemudian mengakibatkan
munculnya sejumlah pergerakan politik-teologis yang diinspirasi oleh pembaharuan-pembaharuan
para pemikir modernis islam. Misalnya Abdullah bin Wahab di Arab Saudi dan
Muhammad Abduh di Mesir.
Pada pertengahan abad 14 H (pertengahan abad 20 M) bangsa-bangsa Asia-Afrika
yang sebagiannya beragama Islam berhasil memerdekakan diri dari kolonialisasi
bangsa Eropa. Paska “masa kemerdekaan” tersebut Teologi Islam tampak lebih
dikembangkan dalam nuansa yang lebih humanis (antroposentris) dengan
mengagungkan nilai-nilai kebebasan (liberalisme) dan demokrasi (sosialisme)
oleh para pemikir post-modernis islam. Semisal Harun Nasution, Hasan Hanafi,
Amina Wadud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar