BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada waktu Nabi Muhammad SAW wafat, dasar-dasar shari’ah yang fundamental telah diletakkan secara lengkap dan memadai. Para sahabat Nabi lebih banyak melakukan upaya penerapan terhadap hukum shari’ah atau pengembangan cabang rantingnya dari ketetapan umum tersebut. Saat kekuasaan Islam meluas, berbagai masalah harus dihadapi termasuk masalah agama (shari’ah). Banyak ditemui realitas lingkungan yang baru, yang tidak cukup diatasi dengan fatwa-fatwa hukum yang sebelumya digunakan, tapi dibutuhkan penalaran baru untuk memecahkannya. Disitulah kebutuhan ijtihad-ijtihad baru harus dilakukan para mujtahid.
Kondisi lingkungan yang beraneka ragam memunculkan ijtihad-ijtihad yang berdasarkan al-Quran, hadits, ijma’, qiyas, juga didasarkan tradisi masyarakat (‘urf), atau didasarkan kemaslahatan umum (maslahah mursalah), atau pilihan yang terbaik di antara kemungkinan yang ada (istihsan), atau berdasarkan shari’ah umat Islam yang terdahulu (shar’ man qablana), dan sebagainya. Fenomena tersebut melahirkan madzhab-madzhab fiqh yang terus berkembang. Salah satu diantaranya adalah madzhab Hanafi yang keberadaannya masih eksis sampai saat ini. Terkait hal-hal yang bersangkutan dengan madzhab Hanafi, penulis mencoba memaparkannya dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Imam Hanafi?
2. Bagaimana sejarah perkembangan madzhab Hanafi?
3. Apa saja dasar hukum madzhab Hanafi?
4. Bagaimana karakteristik madzhab Hanafi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Imam Hanafi
1. Kelahiran
Mazhab ini dinamai sesuai dengan nama ulama pendirinya, yaitu Abu Hanifah, Nama beliau dari kecil ialah Nu’man bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayah beliau keturunan dari bangsa persi (Kabul-Afganistan), tetapi sebelum beliau dilahirkan, ayahnya sudah pindah ke Kufah. Oleh karena itu beliau bukan keturunan bangsa Arab asli, tetapi dari bangsa Ajam (bangsa selain bangsa arab) dan beliau dilahirkan di tengah-tengah keluarga berbangsa Persia. Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah, kota yang terletak di Iraq, pada tahun 80 Hijriyah (699 M). Abu Hanifah hidup selama 52 tahun dalam masa Amawiyah dan 18 tahun.
Ayahnya dilahirkan pada masa Khalifah Ali. Bapak Abu Hanifah dilahirkan dalam Islam. Bapaknya adalah seorang pedagang, dan satu keturunan dengan saudara Rasulullah. Kakeknya Zauta adalah suku (bani) Tamim. Kakek abu hanifa adalah salah satu pembesar negara yang ditaklukkan oleh tentara Utsman dan beliau menjadi tawanan perang, akhirnya diserahkan kepada tentara Islam yang menang dalam peperangan tersebut. Setelah menjadi tawanan perang ia dijadikan budak dan akhirnya bebas dari budak karena masuk Islam. Setelah dibebaskandari perbudakan ia menetap di Kufah dan selanjutnya ia berdagang sutra di kota Kufah dan lahirlah anaknya yang diberi nama Tsabit yaitu ayah Abu Hanifah. Sedangkan ibu Hanifah tidak dikenal dikalangan ahli-ahli sejarah tapi walau bagaimanapun juga ia menghormati dan sangat taat kepada ibunya. Dia pernah membawa ibunya ke majlis-majlis atau perhimpunan ilmu pengetahuan. Dia pernah bertanya dalam suatu masalah atau tentang hukum bagaimana memenuhi panggilan ibu. Beliau berpendapat taat kepada kedua orang tua adalah suatu sebab mendapat petunjuk dan sebaliknya bisa membawa kepada kesesatan.
Abu Hanifah adalah panggilan dari Nu’man Ibnu Tsabit bin Zautha. Ada beberapa riwayat yang menjelaskan sebab-sebab beliau dipanggil Abu Hanifah, antara lain yaitu :
a. Karena salah satu anaknya bernama Hanifah, maka Abu Hanifah berarti bapak dari Hanifah. Menurut kebiasaan bangsa Arab, nama anak menjadi nama panggilan bagi ayahnya dengan memakai kata Abu (Bapak/ Ayah), sehingga ia dikenal dengan sebutan Abu Hanifah.
b. Dia adalah salah seorang yang sangat bertakwa kepada Allah dan perinsipnya tidak dapat digoyahkan, dia tetap pada prinsipnya dan berpegang teguh pada agama Islam, tidak tergoyah dengan bujukan apapun yang diajukan kepadanya baik itu yang menguntungkan apalagi yang merugikannya. Abu artinya adalah hamba, sedangkan Hanifah artinya cenderung, dengan demikian Abu Hanifah berarti hamba Allah yang cendrung taat kepada Allah.
c. Karena paling cinta pada tinta untuk menulis, sehingga beliau dipanggil oleh guru dan teman-temanya dengan Abu Hanifah, karena Hanifah dalam bahasa Iraq berarti tinta, jadi Abu Hanifah berarti bapak tinta.
Terlepas dari keseluruhan panggilan terhadap Abu Hanifah tersebut, maka dia dipanggil Abu Hanifah karena sesuai dengan tingkah laku, perbuatan, ucapan, amalan dan ketekunanya sesuai cita-cita luhur yang dimilikinya.
Ciri-ciri Abu Hanifah yaitu dia berperawakan sedang dan termasuk orang yang mempunyai postur tubuh ideal, paling bagus logat bicaranya, paling bagus suaranya saat bersenandung dan paling bisa memberikan keterangan kepada orang-orang yang diinginkannya (menurut pendapat Abu Yusuf). Abu Hanifah berkulit sawo matang dan tinggi badannya, berwajah tampan, berwibawa dan tidak banyak bicara kecuali menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Selain itu dia tidak mau mencampuri persoalan yang bukan urusannya (menurut Hamdan putranya). Abu Hanifah suka berpakaian yang baik-baik serta bersih, senang memakai bau-bauan yang harum dan suka duduk ditempat duduk yang baik. Lantaran dari kesukaannya dengan baubauan yang harum, hingga dikenal oleh orang ramai tentang baunya, sebelum mereka melihat kepadanya. Abu Hanifah juga amat suka bergaul dengan saudara-saudaranya dan para kawan-kawannya yang baik-baik, tetapi tidak suka bergaul dengan sembarangan orang. Berani menyatakan sesuatu hal yang terkandung didalam hati sanubarinya, dan berani pula menyatakan kebenaran kepada siapa pun juga, tidak takut di cela ataupun dibenci orang, dan tidak pula gentar menghadapi bahaya bagaimanapun keadaannya.
2. Pendidikan
Pada waktu kecil Abu Hanifah menghaf Al-Qur’an, seperti yang dilakukan anak-anak pada masa itu, kemudian berguru kepada Imam Ashim salah seorang imam Qiro’ah sab’ah. Keluarganya adalah keluarga pedagang, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila beliau kemudian menjadi pedangang pula. Sampai pada suatu waktu beliau lewat di hadapan seorang Al-Sya’bi salah seorag ulama besar di Kufah. Pertemuan Abu Hanifah dengan Al-Sya’bi tersebut menyadarkan Abu Hanifah untuk meninggalkan kegiatan berdagang dan mulai menuntut ilmu.
Dalam studinya, pada awalnya Abu Hanifah senang sekali belajar bidang Qira’ah dan tajwid kepada Idris ‘Asham, al-Hadits, Nahwu Sharaf, sastra, sya’ir dan ilmu yang sedang berkembang pada saat itu, diantaranya adalah ilmu-kalam (theologi). Karena ketajamannya dalam memecahkan semua persoalan, beliau sanggup membuat Argumentasi yang dapat menyerang kelompok Khawarij dan doktrinnya yang sangat ekstrim, sehingga beliau menjadi salah satu tokoh theologi Islam. Selanjutnya, Abu Hanifah menekuni ilmu fiqih di Kufah yang pada waktu itu merupakan pusat perhatian para ulama fiqh yang cenderung rasional.
Di Irak terdapat Madrasah Kufah yang dirintis oleh Abdullah ibn Mas’ud (wafat 63 H/682 M). Kepemimpinan Madrasah Kufah kemudian beralih kepada Ibrahim al-Nakha’i, lalu Muhammad ibn Abi Sulaiman al- Asy’ari (wafat 120 H). Hammad ibn Sulaiman adalah salah seorang Imam besar (terkemuka), ia adalah murid dari ‘Alqamah ibn Qais dan al-Qadhi Syuri’ah, keduanya adalah tokoh dan fakar fiqh yang terkenal di Kufah dari golongan tabi’in. Dari Hammad ibn Sulaiman itulah Abu Hanifah belajar fiqih dan hadits. Selain itu, Abu Hanifah beberapa kali pergi ke Hijjaz untuk mendalami fiqih dan hadits sebagai nilai tambahan dari apa yang diperoleh di Kufah. Sepeninggal Hammad, majlis Madrasah Kufah sepakat mengangkat Abu Hanifah menjadi kepala Madrasah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqih. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar utama dari pemikiran mazhab Hanafi yang dikenal sekarang ini.
Abu Hanifah tidak hanya menguasai ilmu di bidang fiqih saja tetapi beliau juga menguasai bidang qiraat, bidang arabiyah, bidang ilmu kalam. Dia turut berdiskusi dalam bidang kalam dan menghadapi partai-partai keagamaan yang tumbuh pada waktu itu.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Kufah dan Basrah, Abu Hanifah pergi ke Makkah dan Madinah sebagai pusat dari ajaran agama Islam. Lalu bergabung sebagai murid dari Ulama terkenal Atha’ bin Abi Rabah.
Guru Abu Hanifah kebanyakan dari kalangan “tabi’in” (golongan yang hidup pada masa kemudian para sahabat Nabi). Diantara mereka itu ialah Imam Atha bin Abi Raba’ah (wafat pada tahun 114 H), Imam Nafi’ Muala Ibnu Umar (wafat pada tahun 117 H), dan lain-lain lagi. Adapun orang alim ahli fiqh yang menjadi guru beliau yang paling masyhur ialah Imam Hamdan bin Abu Sulaiman (wafat pada tahun 120 H), Imam Hanafi berguru kepada beliau sekitar 18 tahun. Di antara orang yang pernah menjadi guru Abu Hanifah ialah Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ady bin Tsabit, Imam Abdur Rahman bin Harmaz, Imam Amr bin Dinar, Imam Manshur bin Mu’tamir, Imam Syu’bah bin Hajjaj, Imam Ashim bin Abin Najwad, Imam Salamah bin Kuhail, Imam Qatadah, Imam Rabi’ah bin Abi Abdur Rahman, dan lain-lainnya dari Ulama Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in.
Menurut kebanyakan guru-guru beliau pada waktu itu ialah para ulama Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in diantaranya ialah:
a) Abdullah bin Mas’ud (Kufah)
b) Ali bin Abi Thalib (Kufah)
c) Ibrahim al-Nakhai (wafat 95 H)
d) Amir bin Syarahil al-Sya’bi (wafat 104 H)
e) Imam Hammad bin Abu Sulaiman (wafat pada tahun 120 H) beliau adalah orang alim ahli fiqh yang paling masyhur pada masa itu Imam Hanafi berguru kepadanya dalam tempo kurang lebih 18 tahun lamanya.
f) Imam Atha bin Abi Rabah (wafat pada tahun 114 H)
g) Imam Nafi’ Maulana Ibnu Umar (wafat pada tahun 117 H)
h) Imam Salamah bin Kuhail
i) Imam Qatadah
j) Imam Rabi’ah bin Abdurrahman dan masih banyak lagi ulama-ulama besar lainnya.
3. Kehidupan sosial
Untuk menjamin ekonominya, Abu Hanifah dikenal sebagai pedagang sutera. Dalam dagang ia dikenal jujur dan lugas. Kemakmuran hidupnya diperoleh dari dagang ini. Bakat berdagangnya didapatkan dari ayahnya yang dulu juga seorang pedagang kain sutra asli Persia. Setelah beliau memutuskan untuk memperdalam ilmu agama beliau mewakilakan aktivitas perdagangannya kepada orang lain.
Abu Hanifah ternyata adalah seorang ulama besar yang sangat cerdas, ikhlas, dan tegas dalam bersikap, mempunyai inetgritas pribadi, dan memiliki daya tarik yang tersendiri. Diantara kegemaran Abu Hanifah adalah mencukupi kebutuhan orang untuk menarik simpatinya. Sering ada orang lewat, ikut duduk di majlisnya tanpa sengaja. Ketika dia hendak beranjak pergi, ia segera menghampirinya dan bertanya tentang kebutuhannya. Jika dia punya kebutuhan, maka Abu Hanifah akan memberinya. Kalau sakit, maka akan ia antarkan. Jika memiliki utang, maka ia akan membayarkannya sehingga terjalinlah hubungan baik antara keduanya. Sehingga tidak mengherankan waktu beliau meninggal, ribuan orang menyatakan bela sungkawa dan lebih dari lima ribu orang yang menyalatkan jenazahnya. Imam Abu Hanifah meninggal pada bulan Rajab tahun 150 H.
B. Sejarah Perkembangan Madzhab Hanafi
Madzab Hanafi muncul di Irak, negeri kelahiran Abu Hanifah dan di Syiria. Pada awalnya madzab ini berkembang di Afganistan (anak benua India) dan Turki Asia Tengah. Madzab ini menjadi panutan bagi para penguasa Turki Seljuk dan Turki Usmani. Madzab ini memperoleh pengakuan resmi di seluruh Dinasti Usmani. Dinasti Usmani dahulu mayoritas penduduk bumi putranya adalah para pengikut madzab lain, seperti Mesir .
Madzab perkembangan Madzab Hanafi menduduki posisi yang paling tinggi dan luas dibandingkan dengan madzab-madzab lain. Hal ini disebabkan dengan adanya :
1. Pada masa kekhalifahan Abbasiyah, ia menjadi aliran Madzab yang secara umum menjadi pegangan masyarakat di Irak, serta adanya pengaruh dalam Mahkamah-Mahkamah Pengadilan.
2. Pada masa kekhalifahan Ustmaniyah, madzab ini menjadi madzab resmi pemerintahan dan menjadi satu-satunya sumber dari panitia negara dalam menyusun kitab ‘’Majallah al Akhkam al-Adaliyyah (Kompilasi Hukum Islam) .
Dari kedua kekhalifahan itulah aliran Madzab Hanafi berkembang pesat di berbagai negara antara lain :
1. Mesir, Syiria, dan Lebanon.
2. Tunisia yang menjadimadzabkeamiran.
3. Turkidan di beberapanegara yang dahulunya sebagai pengikut pada kekuasaanTurki.
4. Albania yang menjadialiranmadzab yang umumdipakai di masyarakat.
5. Balkan danTanzaniyyah yang menjadi panutan dalam bidang peribadatan.
6. Pakistan, Afganistan, Turkinistandanpendudukmuslim yang berdomisili di India danTiongkok, sertaparapenganut di negara-negara lain.
Dari kedua kekhalifahan itulah, yang membuat Mazhab aliran Hanifah berkembang pesat di berbagai negara, khususnya negara-negara yang padamasadahulutundukkepadakeduanya, seperti:
1. Mesir, Syria dan Lebanon
2. Tunisia yang menjadi mazhab keamiran.
3. Turki dan dibeberapa negara yang dahulunya tunduk kepada kekuasaan Turki
4. Albania yang menjadi aliran mazhab yang umum dipaka ioleh masyarakat.
5. Balkan dan Tanzaniyyah yang menjadi panutan dalam bidang peribadatan.
6. Pakistan, Afganistan, Turkinistan dan penduduk muslim yang berdomisili di India dan Tiongkok, begitu juga parapen ganutnya di negara-negara lain .
Abu Hanifah bertemu dengan
7 orang sahabatnya yaitu :
1. Anas bin Malik.
2. Abdullah bin Harits.
3. Abdullah bin AbiAufa.
4. Wasilan bi al Asda.
5. Maaqil bin Yasar.
6. Abdullah bin Anis.
7. Abu Thafailhuh.
Sebagai ulama besar, beliau mempunyai banyak murid diantaranya:
1. Imam Abu Yusuf Yakub Ibn Ibrahim al Anshari al Kafi (113-182)
Berkat arahan dan bimbingan dari guru-gurunya, beliau terkenal menjadi seorang alim besar dalam ilmu fikih semasa khalifah al-Mahdi dan al-Hadi serta pada masa pemerintahan Abassiyah , imam Abu Yusuf termasuk golongan ahlulhadist yang terkemuka. Beliau menulis sendiri kitabnya yang sampai ketangan kita sekarang, ialah Al Kharaj.
2. Muhammad ibn al Hasanasy Syaibani (132 H -189 H)
Beliau dilahirkan di kota Irak. Beliau tidak lama menyertai Abu Hanifah dan pernah belajar dengan Imam Malik.Tetapi berusaha membukukan Madzab Hanafi.
Kitab-kitab beliau yang telah dibukukan ada 2 macam yaitu :
a. Yang diriwayatkan kepada kita oleh orang-orang kepercayaan .
Orang-orang kepercayaan yang dimaksud disini adalah para Tabi’in. Tabi’in adalah orang-orang yang berjumpa atau berguru kepada sahabat Nabi Muhammad saw. Para Tabi’in aktif mempelajari bermacam-macam ilmu juga menerima hadits-hadits nabi dari para sahabat nabi. Para Tabi’in itu setelah belajar dari Sahabat, kemudian menyampaikan dan mengajarkan yang telah didapat keseluruh dunia. Tabi’in yang terkenal di Kufah adalah Nu’man bin Tsabit. Beliau berasal dari Persia dan kemudian menetap di Kufah dekat Bagdad. Kitab yang diriwayatkan disebut Dahirul Riwayah atau Masailul Ushul.
b. Yang diriwayatkan kepada kita oleh orang-orang yang tidak ada kepercayaan disebut Masailun Nawadir.
Kitab-kitab Dhahirul Riwayah ada 6 buah yaitu :
1) Al Mabsuth
2) Al Jami’ulKabir
3) Al Jami’ushShaghir
4) As SiyarulKabir
5) As SiyarushShaghir
6) Az Zidayat
Keenam kitab ini telah dikumpulkan oleh Abul Fadlel Marwazi, yang dikenal dengan nama Al Hakim asySyahid (344 H) dalam kitab yang dinamai Al Kafi. Kemudian Al Kafi ini disyarahkan dalam kitab Al Mabsuth, oleh Syamsul Aimmah Muhammad ibn Ahmad AsSarkhasi, yang wafat pada akhir abad ke-5 Hijriyah.
Dari kitab-kitab Dhahirur Riwayah inilah lembaga majalah Al Ahkam al Adliyah di Turki mengutip kebanyakan masalahnya. Adapun kitab-kitab AnNawadir, ialah:
a. Amali Muhammad
b. Al Kaisaniyat
c. ArRiqayat
d. Al Haruniyat
e. Al Jurjaniyat
f. Al MakharijfilHiyal
g. ZiyadatuzZidayat
h. Nawadir Muhammad.
3. Imam Zulfar bin Huzail bin Qais al Kufy
Beliau dilahirkan pada tahun 110 H, dan tidak mengarang buku namun memberikan pelajaran dengan mengajar secara lisan saja . Beliau adalah murid dari Imam Abu Hanifah yang menggunakan qiyas dan tergolong murid yang baik pendapatnya serta pandai mengupas soal-soal keagaan serta ibadah .
4. Imam Al Hasan bin Ziyad Al-Lului
Beliau belajar dengan Imam Abu Hanifah dan meriwayatkan pendapat-pendapatnya, akan tetapi tidak menyamakan riwayatnya dengan riwayat yang dimiiki oleh Muhammad bin Hasan dalam kitab Darul Riwayat. Berikut kitab karangannya adalah Abdul Qadhi Al-Khisal, Ma’ani Imam Al-Nafaqad , Al-Kharaj , Al-Faridh, dan Al-Washya.
Menurut riwayat, para ulama Hanafiyah (yang bermadzab Hanafi) telah membagi masalah-masalah fikih. Bagi madzab beliau ada tiga tingkatan yaitu :
1. MasailulUshul
Masa-Ilul-Ushul kitabnyadinamakan dhahirur-riwayah, kitab ini berisi tentang masalah-masalah yang diriwayatkan dari Imam Hanafi dan sahabat-sahabatnya.Masa-Ilul-Ushul ada didalam 6 kitab Dhahirur-riwayahyaitu :
a. Kitab Al-Mabsuth
b. Kitab Al-Jami’ushShaghir
c. Kitab Al-Jami’ulKabir
d. Kitab As-ShairusShaghir
e. Kitab As-sairusKabir
f. Kitab Al-Ziyadat
2. Masailun-Nawadir
Masa-ilun-nawadir adalah kitab yang diriwayatkan dari Imam Hanafi dan sahabat-sahabat beliau dalam kita blain, seperti :Harunniyat, Jurjaniyyat, dan Kaisaniyyat oleh Imam Muhammad ibn Hasan, dan kitab Al-Mujarad oleh Imam Hasan bin ziyad.
3. Al-Fatwa Wal-Waqiat
Al-Fatwa Wal-Waqiat adalah berisi tentang masalah-masalah keagamaan yang dari islam banyak para ulama mujtahid yang bermadzab Hanafi. Kitabnya adalah An-Nawazil yang dihimpun oleh Imam Abdul Laits As-Samarqadany.Beliau wafat pada tahun 375 H .
C. Dasar Hukum Madzhab Hanafi
Adapun langkah yang digunakan dalam menetapkan hukum (istinbat) Abu Hanifah dalam mengambil kesimpulan hukum-hukum fikih ialah sebagaimana yang pernah dia katakan :
“Saya mengambil hukum dari Alquran, jika saya tidak mendapatkannya dari Alquran, maka saya bersandar kepada sabda-sabda Rasul yang sahih dan yang terdapat di kalangan orang-orang yang bisa dipercaya. Bila dalam Alquran dan hadis tidak saya ketemukan sesuatu pun, maka saya beralih kepada keterangan para sahabat. Saya mengambil mana yang saya kehendaki. Setelah berpijak pada pendapat orang-orang lain. Jika telah sampai kepada pendapat Ibrahim, As-Sya’bi, Hasan Basri, Ibnu Sirrin, Sa’id bin Musayyab, sambil beliau mengemukakan beberapa nama ulama besar dari para mujtahid, maka aku pun berhak untuk melakukan ijtihad sebagaimana yang mereka lakukan.”
Jadi dalam menyusun fiqh, ia pertama-pertama mencari keterangan dari Alquran, bila tidak diperoleh keterangan, maka mencari dalam sunnah rasul, hadits yang sahih dan mansyhur, tersiar dalam kalangan orang terpercaya. Bila tidak ada dari kedua sumber tersebut, maka beliau mengambil keterangan dari asar Al-Sahabi, ucapan atau perbuatan para sahabat.
Bila tetap tidak memperoleh keterangan, mulailah beliau mencurahkan segala kemampuannya menggali dalil dari nash al-Quran dan hadits untuk menetapkan atau mengistinbatkan hukum besangkutan, yang dinamakan ijtihad. Yang demikian disebut usul al kubra (pokok-pokok yang terpenting dan besar).
Imam Abu Hanifah sangat terkenal dengan kehati-hatiannya dalam menerima hadits. Tidak setiap hadits langsung diterima sebagai sumber syari’at Islam, kecuali diriwayatkan oleh jama’ah dari jama’ah, atau berita yang disepakati oleh fuqaha suatu negri dan diamalkan, atau berita ahad yang diriwayatkan dari sahabat dalam jumlah banyak yang tidak dipertentangkan.
Jadi pokok-pokok pikiran yang menjadi dasar mazhab Hanafi dalam menetapkan hukum suatu masalah, adalah :
1. Al-Kitab (القران)
Ditinjau dari bahasa, Al Qur'an berasal dari bahasa arab, yaitu bentuk jamak kata benda (masdar) dari kata kerja قرأ – يقرأ – قرآنا yang berarti bacaan atau sesuatu yang dibaca berulang-ulang. Sedangkan pengertian al-Quran menurut istilah (terminologi) ialah firman Allah yang berbentuk mukjizat, diturunkan kepada nabi terakhir, melalui malaikat jibril yang tertulis dalam di dalam mushahif, yang diriwayatkan kepada kita dengan mutawatir, merupakan ibadah bila membacanya, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.
Menurut Manna’ Al-Qhattan :
كَلَامُ اللهِ المُنَزًّلُ عَلَي مُحَمَّدٍ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْمُتَعَبَدُ بِتِلَاوَتِهِ
Artinya : kitab Allah yang diturnkan kepada Nabi Muhammad SAW dan orang yang membacanya memperoleh pahala.
Semua mazhab sepakat adalah dalil hukum yang pertama dan utama. Walaupun mereka terkadang berbeda pendapat dalam menafsirkan dan istinbat (menetapkan hukum ayat tersebut). Al-Quran adalah sumber utama yang digunakan oleh imam hanafi didalamnya mengandung berbagai ketentuan syariah, oleh karenanya al-quran berperan sebagai rujukan dalam proses kajian segala permasalahan hukum agama.
2. Hadis (الحدث)
Hadis atau al- hadits menurut bahasa adalah الجديد yang artinya (sesuatu yang baru) artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti حَدِيْثُ العَهْدِ فِى أْلإِسْلَامِ (orang yang baru masuk/ memeluk islam). Arti sunnah yang biasanya disebut dalam Ar-Risalah adalah الخبر, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis.
Pengertian hadis menurut para ulama ushul, sementara para ulama ushul memberikan pengertianhadisadalah:
أَقْوَا لُهُ واَفْعَا لُهُ وتَقْرِيْرَاتُهُ التى تَثْبُتُ الأََ حْكاَمُ و تُقَرِرُهاَ
Artinya: “Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya”.
As-Sunnah atau hadits yang diterima oleh mazhab Hanafi adalah hadist masyhur, yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang, bahkan lebih. As-sunnah berfungsi sebagai penerang dari penjelas al-Quran, merinci kandungan al-Quran yang masih bersifat umum. Madzhab Hanafi mensyaratkan hadits atau as-sunnah dengan kualifikasi yakni harus sohih, mutawatir, juga harus dikenal luas (masyhur). Kualifikasi ini dimaksudkan untuk membentengi terhadap adanya hadits palsu.
3. Perkataan Sahabat (اقول الصحابة)
Menurut madzhab hanafi, para sahabat adalah orang yang membawa ajaran rasul kepada generasi sesudahnya, maka perkataan dan pernyataan mereka lebih dekat kepada kebenaran.
Perkataan sahabat dibagi menjadi 2 bagian yaitu ijma’ dan pendapat pribadi sahabat. Dalam hal ini ijma’ lebih didahulukan, jika ada pendapat yang berbeda dari para sahabat yang bukan merupakan hasil ijma’, maka imam Hanafi memilih pendapat yang dipandang paling memadai dalam menjawab untuk menyelesaikan persoalan.
4. Al-Qiyas (القياس)
Secara bahasa, qiyas berasal dari bahasa Arab yaitu قياس yang artinya hal mengukur, membandingkan, aturan. Ada juga yang mengartikan qiyas dengan mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain dan kemudian menyamakan antara keduanya. Ada kalangan ulama yang mengartikan qiyas sebagai mengukur dan menyamakan.
Secara istilah, pengertian qiyas menurut ahli ushul fiqh adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
Definisi lain dari qiyas menurut ahli ushul fiqh adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Jika dalam al-Quran, as-sunnah, dan perkataan sahabat tidak ditemukan jawaban atau hukum atas persoalan yang dihadapi, maka imam Hanafi berpegang pada qiyas. Beliau merasa tidak harus menerima rumusan hukum dari murid-murid para sahabat ketika tidak mempunyai bukti yang jelas dan kuat. Beliau merasa bahwa dirinya serta dengan para sahabat dan melakukan ijtihad sendiri berdasarkan prinsip-prinsip qiyas yang telah dibangunnya bersama para muridnya. Mazhab Hanafi yang paling banyak menggunakan qiyas, sehingga mereka dikenal sebagai ahlu ra’yi.
5. Al-Istihsan
Pengertian Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut istilah ialah kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah, meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.
Para ulama juga mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai definisi dari istihasn itu sendiri, salah satunya adalah pengikut Mazhab Hanafi yang menyebutkan bahwa Istihsan berarti kecenderungan yang lebih baik (adil) untuk mendapatkan pemecahan masalah yang tepat.
Al-istihsan artinya berpindahnya seorang mujtahid dari suatu dalil qiyas kepada qiyas yang lain yang lebih kuat pengaruhnya atau lebih sesuai bagi kepentingan manusia, meskipun bisa saja secara teknis dalil qiyas yang digunakan lebih lemah dari pada dalil qiyas yang ditinggalkan. Dalam madzhab ini istihsan tidak diragukan lagi sebagai salah satu dari dalil dalam menentukan suatu hukum. Prinsip lebih mementingkan keadilan dan kebaikan secara mutlak.
Al-Istihsan dari segi istilah juga dapat dibagi beberapa pandangan mengikut mazhab.
Menurut Mazhab Hanafi terdapat dua yaitu :
a) Qiyas yang tersembunyi illahnya kerana sukar untuk memahaminya dan berlaku di dalam keadaan berlawanan dengan qiyas yang jelas illahnya kerana bersegeranya dan cepat untuk memahaminya pada peringkat permulaan.
b) Dikecualikan masalah juz’iyyah dari pada konsep menyeluruh atau kaedah umum kerana ada dalil khusus yang mengkehendaki pengecualian itu sama ada dalil khusus itu terdiri dari pada nash, darurah, urf, maslahah atau lainnya.
6. Al-Urf (العرف)
Menurut bahasa, berasal dari kata ‘arofa-ya’rufu-ma’rufan yang berarti “yang baik”. Sedangkan menurut istilah adalah apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi tradisinya; baik ucapan, perbuatan ataupun pantangan-pantangan. Atau dalam istilah lain biasa disebut adat (kebiasaan). Sebenarnya, para ulama’ ushul fikih membedakan antara adat dengan Urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefinisikan dengan: “sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan yang rasional.”
Al-Urf menurut bahasa adalah apa yang biasa dilakukan orang, baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Dengan perkataan lain adat kebiasaan. Beliau melakukan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam al-Qur’an, sunnah, ijma’ atau qiyas, dan apabila tidak baik dilakukan dengan cara qiyas), beliau melakukannya atas dasar istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan istihsan, beliau kepada ‘urf manusia.
Madzhab Hanafi akan menggunakan ‘urf jika tidak ada aturan yang secara jelas ditemukan dalam al-Quran, as-sunnah, serta pendapat sahabat serta tidak bisa pula dilakukan dengan cara qiyas maupun istihsan. ‘Urf sendiri berarti tradisi masyarakat baik berupa perkataan maupun perbuatan atau adat kebiasaan. Namun demikian, tidak semua ‘urf dapat dijadikan dasar atau dalil syara’. Melainkan hanyalah yang tidak bertentangan dengan nash, sedangkan yang bertentangan jelas ditolak oleh madzhab Hanafi.
D. Karakteristik Madzhab Hanafi
Pada bidang pendidikan, Abu Hanifah memberi kuliah tidak menempuh jalan dikte tetapi cara studi bersama. Abu Hanifah berusaha supaya murid-muridnya menjadi ahli debat, bukan ahli catat. Sering terjadi perdebatan sengit antaranya dengan murid-muridnya. Cara seperti ini akan menambah ilmu dan wawasan bagi kedua belah pihak.
Abu Hanifah mengemukakan masalah-masalah kalau mengajak para sahabatnya turut berdiskusi. Sering dalam mempergunakan qiyas Abu Hanifah mengatasi sahabat-sahabatnya. Abu Hanifah menggali wajah-wajah illat hukum yang dikandung sesuatu hadits. Ia mendebat sahabat-sahabatnya untuk mengeluarkan hukum dari hadits itu secara qiyas.
Dalam menanggapi persoalan, Abu Hanifah selalu mengatakan: “Inilah pendapatku dan jika ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat dari aku, maka pendapatnya itulah yang lebih benar.” Suatu saat beliau pernah ditanya oleh sesorang: “Apakah yang telah engkau fatwakan itu benar dan tidak diragukan lagi?.” Lalu beliau menjawab: “Demi Allah, boleh jadi itu adalah suatu fatwa yang salah yang tidak diragukan lagi akan kesalahannya.”
Madzhab Hanafi mempunyai ciri khas penggunaan istihsan sebagai salah satu sumber hukum Islam dan sangat terkenal dengan penggunaan ra’y (akal), sehingga mendapat label ahl al-ra’y. Semenjak Nabi wafat hingga sampai kepada masa Asy-Syafi’i para ulama terbagi dua golongan. Ada dua golongan yang terkenal dengan ahli pikir, yaitu golongan yang mencari illat-illat hukum dan menetapkan hukum dengan menggunakan daya akal. Ada golongan yang hanya berdalil dengan hadits. Abu Hanifah cenderung kepada aliran pertama, maka apabila tidak menemukan suatu Sunnah yang telah terkenal, ia mempergunakan ra’y dan amat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, karena takut terjadi kedustaan dalam periwayatan hadits.
Penggunaan istihsan oleh Abu Hanifah juga terdapat dalam kitab al-Intiqa, yang menyatakan bahwa pegangan Abu Hanifah sebagai berikut:
“Pendirian Abu Hanifah, ialah mengambil yang kepercayaan dan lari dari keburukan, memperhatikan mu’amalah-mu’amalah manusia dan apa yang telah mendatangkan maslahat bagi urusan mereka. Ia menjalankan urusan atas qiyas. Apabila qiyas tidak baik dilakukan, ia melakukannya atas istihsan, selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan, ia pun kembali kepada ‘uruf masyarakat. Dan mengamalkan (washal) hadits yang telah terkenal yang telah diijma’i ulama. Kemudian ia mengqiyaskan sesuatu kepada hadits itu selama qiyas masih dapat dilakukan. Kemudian ia kembali kepada istihsan. Mana di antara keduanya yang lebih tepat, kembalilah ia kepadanya.
”
Berdasarkan ungkapan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa apabila tidak ada nash dan pendapat sahabat, Abu Hanifah menggunakan qiyas. Namun jika dipandang bahwa menggunakan qiyas kurang tepat, maka menggunakan istihsan. Selain itu, ahl al-ra’y menggunakan daya pikir jika mereka tidak menemukan hadits yang sahih serta mereka menggunakan daya pikir, tidak menggunakan hadits karena takut akan terambil hadits yang palsu.
BAB III
PENITUP
A. Kesimpulan
Madzhab Hanafi didirikan oleh Imam Abu Hanifah yang bernama asli Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Maah, berasal dari keturunan bangsa Persia. Abu Hanifah lahir di Kufah, kota yang terletak di Iraq, pada tahun 80 H (699 M) dan wafat di Baghdad pada tahun 150 H (767 M). Beliau mempunyai banyak murid, yang kemudian menulis berbagai buku tentang madzhab Hanafi. Adapun dasar hukum madzhab Hanafi adalah al-Qur’an, as-Sunnah, aqwalush shahabah, ijma’, qiyas, istihsan, dan ‘urf. Sedangkan ciri utama dari madzhab Hanafi ialah penggunaan istihsan sebagai salah satu sumber hukum Islam serta penggunaan ra’y (akal) sehingga mendapat label ahl al-ra’y.
B. Saran
Demikianlah penyusunan makalah yang dapat penulis sampaikan, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat berharap kritik dan saran yang dari pembaca untuk menjadikan makalah ini menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
A. Rahman I. Doi, 2002. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah. 2002. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ali Ash- Shabunie, Moch., 1983. Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Surabaya: Al-Ikhlas.
Ali bin Muhammad bin Ali al-Jurjâni, 1405. Al-Ta’rifât. Beirut: Dâr al-Kitab al-‘Arabi.
Ali, Hasan M. 1996.
Perbandingan Mazhab. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Al-Syurbasi, Ahmad. 1993.
Al Aimmatu Al Arbaah. Jakarta: Bumi Aksara
Ameenah, Abu. 2000.
Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Historis atas Mazhab Doktrin dan Kontribusi. Bandung: Nusamedia dan Nuansa
Anshor, Ahmad Muhtadi. 2012.
Bahth Al-Masail Nahdlatul Ulama Melacak Dinamika Pemikiran Madzhab Kaum Tradisionalis. Yogyakarta: Teras
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 1997.
Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 1999.
Pengantar Ilmu Fiqih. Semarang: Pustaka Rizqi Utama
Bastoni, Hendri Andi. 2006. 101 Kisah Tabi’in, Cet. Ke-1.Jakarta: Pustaka al-Kausar.
Beik, Khudari. 1995.
Tarikh Tasyri al-Islami. Beirut: Dar al-Fikri
Chalil, Moenawir. 1995. Biografi Empat Serangkai Madzab. Jakarta: Bulan Bintang
Djazuli, A. 2005.
Ilmu Fiqih: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta: Kencana Perdana Media Grup.
Fahmi, Ahmad. & Sunnah, Abu. T.t.
Al-‘Urf wa al ‘Adah fi Ra’yi al-Fuqoha’. Mesir: Darul Fikr. al-‘Arobi.
Farid. Syaikh Ahmad. 2007.
Min A’lam as-Salaf, Penerjemah Masturi Ilham dan Asmu’i Taman, 60 Biografi Ulama Salaf, Cet. Ke-2. Jakarta: Pustaka al- Kausar.
Ghazali, M. Bahri. 1992.
Perbandingan Mazhab. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Hasan bin Haji Ahmad. 2002.
Usul fiqh dan qawa’id fiqhiyyah. Kuala Lumpur: Pustaka Haji Abdul Majid.
Hasan, M. Ali. 1998.
Perbandingan Mazhabi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Joseph, Schacht. 2012.
Pengantar Hukum Islam, Yogyakarta: Impremium.
M, Hadi Hussain. 1972.
Imam Abu Hanifah Life And Work. Pakistan: Institute of Islamic Culture Persada.
Mansur, Laily. 2002.
Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
SA Romli, 2006, Ushul Fiqh, Katalog Dalam Terbitan, IAIN Raden fatah Palembang.
Seri. 1980,
Usul Fiqih. Jakarta: PT Bumirestu.
Yanggo, Huzaemah Tahido. 1997.
Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Yanggo, Huzaemah Tahido. 2003.
Sejarah Perkembangan Hukum Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya
Zuhri, Muh. 1996. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Raja Grapindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar