TOBAT
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya, manusia hidup di
dunia ini hanyalah sementara saja. Bagaikan seorang musafir yang sewaktu-waktu
haus di tengah perjalanan, kemudian singgah di suatu tempat untuk minum, sampai
rasa dahaganya hilang. Dia tidak
akan lama singgah di sana. Demikian pula, dunia adalah ibarat sebuah pasar yang
disinggahi para musafir di tengah perjalanan mereka ke tempat lain.
Status manusia berbeda dengan
malaikat yang penuh dengan kesucian dan kemulian dengan tabiatnya yang selalu
patuh dan taat kepada Allah SWT. Tetapi hakikat manusia juga berlainan dengan
Iblis yang statusnya durhaka terus menerus. Manusia berada di antara keduanya,
yang sewaktu-waktu dapat naik ke jenjang kemuliaan dan kesucian tetapi juga
sewaktu-waktu dapat terjerumus ke dalam lembah kehinaan dan kedurhakaan. Oleh
sebab itu, nampaknya sudah merupakan kebutuhan kita untuk melakukan intropeksi
dan koreksi diri secara serius, terutama di tengah-tengah kondisi zaman yang
rusak seperti ini. Maka dari itu, untuk membersihkan hati dari dosa yang pernah
dilakukannya, manusia diperintahkan untuk bertobat.
II.
Rumusan Massalah
a)
Apa pengertian tobat ?
b)
Bagaimana cara tobatnya para sufi ?
c)
Apa saja prasyarat dan syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan bertobat
?
d)
Apa saja macam-macam Dosa atau perbuatan yang menuntut tobat ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tobat
Kata Tobat dalam bahasa arab adalah merupakan
mashdar dari dari kalimat “taba-yatuba-taubatan” yang artinya kembali.[1] Dalam perspektif sufistik Tobat dimaknai sebagai kembali
dari segala perbuatan tercela menuju perbuatan terpuji sesuai dengan ketentuan
agama. Al Qusyairi memberi arti tobat secara terminologi, yaitu kembali dari
sesuatu yang dicela oleh syara menuju hal-hal yang dipuji oleh syara. Al
Qusyairi menambahkan uraiannya dengan hadis Nabi, bahwa menyesal termasuk tobat.
Sedangkan Qamar Kailani dalam bukunya Fi
At-Tasawuf Al Islami mendefinisikan tobat dengan rasa penyesalan yang
sungguh-sungguh dan mendalam disertai permohonan ampun serta meninggalkan
segala perbuatan yang menimbulkan dosa. [2]
Melaksankan tobat merupakan keharusan bagi setiap mukmin
dan pelaksanaan harus dilakukan secara langsung tanpa ditunda-tunda. Jika tobat
itu ditunda-tunda maka akan memunculkan kedurhakaan lain sehingga pelakunya
terlambat bertobat karena penundaan itu. Banyak orang yang biasa menunda-nunda
dan berandai-andai sampai akhirnya tiba waktu bahwa tobatnya ditolak oleh Allah
S.W.T. karena ia melakukannya pada saat terpaksa, dalam keadaan terjepit, dan
tidak ada pilihan lain.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Setiap orang
diantara kamu sekalian melakukan kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang
melakukan kesalahan adalah yang bertobat.” (HR. Ahmad).
Ada beberapa
ayat diungkapkan yang berkenaan dengan pentingnya tobat meninggalkan segala bentuk kemaksiatan. Bertobat menyesalai atas dosa dari kemaksiatan yang
diperbuat. Dengannya diharapkan dapat memberi tambahan
keimanan terhadap kebenaran ajaran
Allah sehingga tidak senggan-senggan untuk selalu bertobat atas dosa akibat dari perbuatan sehari-hari.
Betapa pentingnya untuk segera bertaubat kepada Allah, karena Allah Maha
Pengampun dan Maha Penerima Taubat.
Redaksi Ayat
Q.S. Thaha: 82
ÎoTÎ)ur Ö$¤ÿtós9
`yJÏj9 z>$s?
z`tB#uäur @ÏHxåur $[sÎ=»|¹ §NèO 3ytF÷d$# ÇÑËÈ
Artinya:
“dan
Sesungguhnya aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal
saleh, kemudian tetap di jalan yang benar”. (Q.S. Thaha [20]: 82)
Q.S. al-Ma’idah:
71
(#þqç7Å¡ymur
wr& cqä3s? ×puZ÷GÏù (#qßJyèsù
(#qJ|¹ur ¢OèO z>$s?
ª!$# óOÎgøn=tæ
§NèO (#qßJtã
(#qJ|¹ur ×ÏV2 öNåk÷]ÏiB
4 ª!$#ur
7ÅÁt $yJÎ cqè=yJ÷èt ÇÐÊÈ
Artinya:
“Dan mereka
mengira bahwa tidak akan terjadi suatu bencanapun (terhadap mereka dengan
membunuh nabi-nabi itu), Maka (karena itu) mereka menjadi buta dan pekak,
Kemudian Allah menerima Tobat mereka, Kemudian kebanyakan dari mereka buta dan
tuli (lagi). dan Allah Maha melihat apa yang mereka kerjakan”(Q.S. al-Ma’idah [5] : 71) .
Abu Ja’far juga menakwilkan, bahwa ayat di atas berisi anjuran
kepada kaum Israel yang telah dibutakan dan dibuat tuli oleh Allah karena
sikapnya yang menolak kedatangan rasul. Sehingga mereka dianjurkan untuk bertobat meninggalkan perbuatan jelek yang mereka pernah
lakukan. Sehingga mereka melakukan hal
yang Allah senangi sesuai dengan perintah dan larangan-Nya.[3]
Tobat yang diperintahkan Allah kepada orang-orang mukmin
adalah “Tobat nasuha” atau tobat yang murni. Dalam tafsir Ibnu Katsir
disebutkan bahwa tobat nasuha mempunyai arti: tobat yang sebenar-benarnya dan
pasti, yang mampu menghapuskan dosa-dosa sebelumnya, menguraikan kekusutan
orang yang bertobat, menghimpun hatinya dan mengenyahkan kehinaan yang
dilakukannya”. Makna dari nasuha sendiri ialah keikhlasan karena Allah SWT
tanpa ada lagi cacat dan noda. Kata itu diambil dari nushb (ketulusan) dan
menunjukkan pertobatan yang utama.[4] Muhammad bin Kaab Al Qurthuby menyatakan
bahwa tobatan nasuha mengandung arti: “memohon ampun dengan lisan, membebaskan
diri dari dosa dengan badan, tekad untuk tidak kembali melakukan lagi dengan
sepenuh perasaan, dan menghindari pergaulan yang buruk”.[5] Yang
jelas tobat yang harus kita lakukan adalah dengan penuh kesungguhan, penuh
penyesalan, dan penuh keikhlasan.
Menurut Dzun Nun
Al-Mishri, tobat
dibagi dalam tiga tingkatan yaitu :
1.
Orang
yang bertobat
dari dosa dan keburukannya.
2.
Orang
yang bertobat
dari kelalaian dan kealfaaan mengingat Allah.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat dipahami bahwa tobat adalah
amalan seorang hamba untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa
yang kemudian ia kembali kepada jalan yang lurus (yakni pada ajaran yang
diperintahkan oleh Allah dan senantiasa akan menjauhi segala larangannya)
dengan penyesalan telah hanyut dalam kesalahan, dan tidak akan mengulanginya
lagi.
B.
Cara Tobatnya Para Sufi
Tobat merupakan maqam pertama yang harus ditempuh untuk menuju pencapaian ma’rifat.
Karena Allah tidak akan mendekati hambanya sebelum bertobat. Dengan tobat, jiwa
seorang sufi akan bersih dari dosa. Tuhan akan mendekati jiwa seseorang yang
suci. Tobat adalah tingkatan menuju maqam berikutnya.
Menurut kaum
sufi, tobat dibagi dua macam, yaitu :
1.
Tobat inabah
Yaitu engkau takut kepada Allah karena kekuasaannya
(dapat menimpakan hukuman kepadamu)
2.
Tobat istijabah
C.
Prasayat dan Syarat dalam Bertobat
Ada tiga
prasyarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan bertobat.
a.
Menyadari betapa buruknya dampak dosa-dosa yang telah dilakukan terhadap
hatinya.
b.
Ingat atas kerasnya siksa Allah ‘Azza wa Jalla, kepedihan yang bakal ia
alami akibat murka dan kemarahan-Nya yang engkau tidak akan sanggup untuk
menghadapinya.
c.
Seorang hamba mesti menyadari besarnya kelemahan dan kurangnya tenaga untuk
bisa menahan diri dari godaan dosa. Sebab, mana mungkin orang yang tidak tahan
panasnya matahari dan tamparan tangan polisi akan sanggup menahan panasnya api
neraka, pukulan pentungan berduri dari malaikat Zabaniah, gigitan ular-ular
yang besarnya seperti leher onta dan kalajengking-kalajengking sebesar keledai
yang diciptakan dari api di Neraka Jahanam? Semoga Allah Ta’ala melindungi kita
dari kesemuanya itu. Dan semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari murka serta
azab-Nya.[7]
Apabila engkau sering mengingat hal-hal tersebut dan membiasakan diri
dengan mengingatnya ditengah malam dan di siang hari, maka ia akan membawamu
kepada tobat nashuha dari dosa-dosa yang pernah engkau lakukan. Seseorang bisa
merasa sangat menyesal terhadap sebuah dosa yang ia lakukan, karena dosa itu
telah merusak kebaikan dan kehormatannya, dan mungkin telah merugikannya secara
duniawi. Penyesalan ini bukanlah taubat. Apa yang dimaksudkan dalam hadits di
atas adalah, hanya dengan menyesali dosa-dosanya maka ia akan bertobat. Dan
penyesalan itu benar-benar merupakan sifat seorang hamba Allah. Bila seseorang
yang bertobat tetap memperhatikan tiga prasyarat tobat di atas, maka rasa sesal
akan lahir di hatinya, dan itu akan mampu mencegahnya dari berbuat dosa. Adanya
rasa sesal dihati ini mengarahkan orang itu kepada sikap selalu memohon dan
merendahkan diri di hadapan Allah. Menyesali dosa merupakan sebab dari lahirnya
tobat, dan merupakan sifat orang-orang yang bertobat. Itulah mengapa Rasulullah
saw. Menamakannya dengan tobat.
Ada empat syarat tobat, yakni :
a.
Berusaha untuk tidak melakukan dosa lagi. Ia mengikat hatinya kuat-kuat dan
menanggalkan keinginannya, bahwa ia tidak akan kembali kepada dosa tersebut
sama sekali. Adapun jika ia meninggalkan dosa itu, tapi didalam hatinya masih
ada sedikit keinginan untuk mengerjakannya lagi suatu hari, atau ia tidak
berkeinginan keras untuk meninggalkannya, maka berarti ia tidak bertobat dari
dosa tersebut.
b.
Ia bertobat dari dosa yang pernah ia lakukan sebelumnya. Sebab, jika ia
belum pernah melakukan dosa tersebut maka berarti ia menjaga diri darinya,
bukan bertobat. Sebagai contoh, adalah benar kalau dikatakan bahwa Nabi saw.
Senantiasa menjaga diri dari tindak kekufuran. Sebaliknya, tidak benar jika
dikatakan bahwa beliau bertobat dari kekufuran, sebab beliau belum pernah
melakukan kekufuran dalam keadaan apa pun. Sedangkan Umar bin Khaththab ra.
Dapat disebut orang yang bertaubat dari kekufuran, karena ia pernah mengalami
hidup dalam kekufuran.
c.
Dosa yang disesali oleh seorang hamba sekarang adalah memiliki kedudukan
dan derajat yang sama dengan dosa yang pernah ia kerjakan dimasa lalu dan ingin
ia tinggalkan. Misalnya, ada seorang tua bangka yang dulunya pernah berbuat
zina dan mencuri. Ia pasti bisa bertobat disaat kuat dulu, bila ia memang
mengingin-kannya. Namun sekarang, disaat sudah tua renta, ia sudah tidak punya
pilihan lagi untuk melakukan perbuatan maksiat tersebut atau bertobat darinya,
karena memang ia sudah tidak sanggup melakukan kedua perbuatan itu. Pintu tobat
memang belum tertutup baginya selagi hidup, hanya saja tobat baginya bukan lagi
dengan meninggalkan zina dan mencuri yang memang sudah tidak bisa dilakukannya
lagi, tapi dengan meninggalkan dosa
ta, menuduh orang lain berzina, melakukan ghibah dan menebar fitnah. Semua itu adalah tindak kemaksiatan, sekalipun bobotnya berbeda-beda. Dan orang tua itu masih bisa untuk memilih tidak melakukan perbuatan maksiat itu, sebagai tobat kepada-Nya dari perbuatan zina dan mencuri di masa mudanya dulu.
ta, menuduh orang lain berzina, melakukan ghibah dan menebar fitnah. Semua itu adalah tindak kemaksiatan, sekalipun bobotnya berbeda-beda. Dan orang tua itu masih bisa untuk memilih tidak melakukan perbuatan maksiat itu, sebagai tobat kepada-Nya dari perbuatan zina dan mencuri di masa mudanya dulu.
d.
Tobat itu dilakukan semata-mata untuk mengagungkan Allah ‘Azza wa Jalladan
menghindari kemurkaan serta siksaa-Nya yang pedih. Murni demikian, bukan karena
keinginan duniawi dan rasa takut kepada manusia. Juga bukan karena mencari
pujian orang lain, mencari nama, kedudukan, atau karena kelemahan nafsunya.[8]
Bila keempat syarat itu telah
diamalkan, maka taubatnya benar.
- Macam-macam Dosa atau perbuatan yang menuntut tobat
Tobat diharuskan pada setiap melakukan dosa, Maka tobat adalah dari
semua dosa besar dan kecil. Ada yang mengatakan bahwa tidak
ada dosa kecil jika dilakukan secara terus menerus dan tidak ada dosa besar
bersama istighfar.[9]
Yusuf
Al-Qardhawi di dalam bukunya menyebutkan dosa-dosa yang meminta tobat adalah sebagai
berikut:[10]
1. Dosa karena meninggalkan perintah dan
mengerjakan larangan.
Kedurhakaan
yang pertama kehadap Allah adalah meninggalkan apa yang diperintahkan.
Ini merupakan kedurhakaan iblis. Sebagaimana di dalam surah Al-Baqarah ayat 34,
sebagai berikut:
Kedurhakaan yang kedua
adalah mengerjakan apa yang dilarang Allah swt, yaitu merupakan kedurhakaan
Adam, yang terkandung dalam firman
Allah Swt berfirman
dalam QS. Al-Baqarah : 35
Tetapi Adam dikalahkan
oleh kelemahannya sebagai manusia, sehingga diapun lalai dan tekadnya menjadi
lemah karena mendapat bujukan iblis.
2.
Dosa
anggota tubuh dan dosa hati
Banyak orang yang
tidak tahu macam-macam kedurhakaan dan dosa selain dari apa yang ditangkap
indranya atau yang berkaitan dengan anggota tubuh zhahir, seperti kedurhakaan
yang lahir dari tangan, kaki, mata, telinga, lidah hidung dan lain-lainnya yang
berhubungan dengan syahwat perut, kemaluan, birahi dan naluri keduniaan yang
ada pada diri manusia.
Kedurhakaan mata adalah memandang
apa yang diharamkan Allah. Kedurhakaan telinga adalah mendengar apa yang
diharamkan oleh Allah, seperti kata-kata yang menyimpang yang diucapkan lisan.
Kedurhakaan lisan adalah mengucapkan perkataan yang diharamkan oleh Allah, yang
menurut Imam al-Ghazali ada dua puluh ma cam, seperti, dusta, ghibah, adu
domba, olok-olok, sumpah palsu, janji dusta, kata-kata batil, omong kosong,
tuduhan terhadap wanita-wanita muslimah yang lalai, ratap tangis, kutukan, caci
maki dan sebagainya.
3. Dosa yang berupa kedurhakaan dan bid’ah
“Jauhilah oleh kalian urusan-urusan yang baru,
karena setiap yang baru adalah bid’ah dan bid’ah itu adalah kesesatan”.
(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi).
“Barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang
baru dalam agama kami yang bukan termasuk darinya maka dia tertolak” (HR.
Muttafaqun ‘Alaih)
Artinya urusan yang
baru itu tidak diterima, karena itu merupakan taqarrub kepada Allah dengan cara
yang tidak menurutnya perintahnya dan tidak seperti yang disyari’atkan dalam
agama serta tidak diizinkannya.
Bahkan pada
hakikatnya bid’ah itu merupakan salah satu jenis kedurhakaan, hanya saja
dengan sifat yang lebih khusus. Pelakunya mendekatkan diri kepada Allah dengan
melakukan bid’ah dan dia yakin bahwa dengan bid’ah ini menjadikan dirinya lebih
dekat kepada Allah dari pada orang lain yang tidak melakukannya.
4. Yang terbatas dan dosa yang tidak
terbatas
Di antara ketaatan dan kebaikan, ada yang terbatas dan tidak berpengaruh
kecuali terhadapa dirinya sendiri, seperti shalat, puasa, haji, umrah,
haji, dzikir, membaca al-Qur’an, shadaqah, berbakti kepada orang tua, berbuat
baik kepada tetangga, orang miskin dan ibnu sabil. Hal
ini tidak berbeda dengan dosa dan keburukan, yang sebagian diantaranya ada yang
hanya berpengaruh kepada pelakunya dan tidak menjalar kepada orang lain. Namun
sebagian lain ada yang berpengaruh kepada orang lain, sedikit atau banyak.
5. Yang berkaitan dengan hak Allah dan hak
hamba
Cukup banyak contoh dosa,
kedurhakaan dan pelanggaran terhadap hak-hak Allah, seperti meninggalkan
sebagian perintah, mengerjakan sebagian yang dilarang, seperti minum khamar,
mendengarkan hal-hal yang tidak pantas, menyiksa binatang, menyiksa diri
sendiri, memboroskan harta dan sebagainya. Sedangkan dosa yang
berkaitan dengan hak hamba, terutama hak material, maka taubat darinya, tetapi
harus mengembalikan hak itu kepada pemiliknya atau meminta pembebasan darinya
atau minta maaf dan memohon pembebasan dari pemenuhan hak karena Allah semata. Jika
tidak hak itu sama dengan hutang yang harus dilunasinya, hingga kedua belah
pihak harus membuat perhitungan tersendiri pada hari kiamat. Jika kebaikannya
tidak mencukupi, maka keburukan-keburukan orang yang memiliki hak itu dialihkan
kepadanya, sampai akhirnya hak itu terpenuhi.
BAB III
PENUTUP
Tobat adalah amalan seorang hamba untuk tidak mengulangi
kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa yang kemudian ia kembali kepada jalan yang
lurus (yakni pada ajaran yang diperintahkan oleh Allah dan senantiasa akan
menjauhi segala larangannya) dengan penyesalan telah hanyut dalam kesalahan,
dan tidak akan mengulanginya lagi.
Menurut kaum
sufi, tobat dibagi dua macam, yaitu :
1.
Tobat inabah
Yaitu engkau takut kepada Allah karena kekuasaannya
(dapat menimpakan hukuman kepadamu)
2.
Tobat istijabah
Yaitu engkau malu (berbuat dosa) kepada Allah karena
dekatnya Allah dari dirimu.
Ada tiga
prasyarat dan empat syarat tobat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan bertobat
yang telah dijelaskan oleh makalah di atas.
Yusuf Al-Qardhawi di dalam bukunya
menyebutkan dosa-dosa yang meminta taubat adalah sebagai berikut:
a.
Dosa karena meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan.
b.
Dosa anggota tubuh dan dosa hati
c. Dosa
yang berupa kedurhakaan dan bid’ah
d. Yang terbatas dan dosa
yang tidak terbatas
e. Yang
berkaitan dengan hak Allah dan hak hamba
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Mutiara
Ihya’ Ulumuddin, Bandung : Mizan, 1997
Al-Qardhawi, Yusuf. Taubat,
Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 1999.
Hamas, Abu, Minhajul Abidin Jalan Para Ahli Ibadah, Jakarta Selatan: Khatulistiwa Press, 2013, cet 1.
Joko Suharto, Menuju Ketenangan Jiwa,
Jakarta:Rineka Cipta, 2007.
Kurniawan, Irwan, Menyingkap Hati Menghampiri Ilahi, Bandung:Pustaka
Hidayah, 2012, cet IX.
Muhammad, Ahsin,
Risalah Sufi al-Qusyayri, Bandung:Pustaka, 1994, cet 1.
Nata, Abudin. Akhlak Tasawuf,
Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010
Syakir, Syaikh Ahmad Muhammad, Syakir, Syaikh Mahmud Muhammad, Tafsir
at-Thabari, terj. Jilid 13, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Tasawuf,
Wonosobo:Amzah.
[2]Totok
Jumantoro, Kamus Ilmu Tasawuf, Wonosobo:Amzah, hlm.268.
[3] Syaikh Ahmad
Muhammad Syakir dan Syaikh Mahmud Muhammad Syakir, Tafsir at-Thabari, terj. Jakarta:
Pustaka Azzam, hlm. 223.
[5]Joko
Suharto, Menuju Ketenangan Jiwa, Jakarta:Rineka Cipta, 2007. hlm 27.
[7] Abu Hamas, Minjahul Abidin Jalan Para Ahli Ibadah,
Jakarta Selatan, Khatulistiwa Press, 2013 hlm 39.
[8] Abu Hamas,
Minjahul Abidin Jalan Para Ahli Ibadah, Jakarta Selatan,
Khatulistiwa Press, 2013 hlm 38-40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar