Jumat, 08 April 2016

Makalah TOBAT



 TOBAT
BAB I
PENDAHULUAN


I.         Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya, manusia hidup di dunia ini hanyalah sementara saja. Bagaikan seorang musafir yang sewaktu-waktu haus di tengah perjalanan, kemudian singgah di suatu tempat untuk minum, sampai rasa dahaganya hilang. Dia tidak akan lama singgah di sana. Demikian pula, dunia adalah ibarat sebuah pasar yang disinggahi para musafir di tengah perjalanan mereka ke tempat lain.
Status manusia berbeda dengan malaikat yang penuh dengan kesucian dan kemulian dengan tabiatnya yang selalu patuh dan taat kepada Allah SWT. Tetapi hakikat manusia juga berlainan dengan Iblis yang statusnya durhaka terus menerus. Manusia berada di antara keduanya, yang sewaktu-waktu dapat naik ke jenjang kemuliaan dan kesucian tetapi juga sewaktu-waktu dapat terjerumus ke dalam lembah kehinaan dan kedurhakaan. Oleh sebab itu, nampaknya sudah merupakan kebutuhan kita untuk melakukan intropeksi dan koreksi diri secara serius, terutama di tengah-tengah kondisi zaman yang rusak seperti ini. Maka dari itu, untuk membersihkan hati dari dosa yang pernah dilakukannya, manusia diperintahkan untuk bertobat.

II.      Rumusan Massalah

a)                  Apa pengertian tobat ?
b)                           Bagaimana cara tobatnya para sufi ?
c)                            Apa saja prasyarat dan syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan bertobat ?
d)                           Apa saja macam-macam Dosa atau perbuatan yang menuntut tobat ?






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tobat
Kata Tobat dalam bahasa arab adalah merupakan mashdar dari dari kalimat “taba-yatuba-taubatan” yang artinya kembali.[1] Dalam perspektif sufistik Tobat dimaknai sebagai kembali dari segala perbuatan tercela menuju perbuatan terpuji sesuai dengan ketentuan agama. Al Qusyairi memberi arti tobat secara terminologi, yaitu kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara menuju hal-hal yang dipuji oleh syara. Al Qusyairi menambahkan uraiannya dengan hadis Nabi, bahwa menyesal termasuk tobat. Sedangkan  Qamar Kailani dalam bukunya Fi At-Tasawuf Al Islami mendefinisikan tobat dengan rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dan mendalam disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa. [2]
            Melaksankan tobat merupakan keharusan bagi setiap mukmin dan pelaksanaan harus dilakukan secara langsung tanpa ditunda-tunda. Jika tobat itu ditunda-tunda maka akan memunculkan kedurhakaan lain sehingga pelakunya terlambat bertobat karena penundaan itu. Banyak orang yang biasa menunda-nunda dan berandai-andai sampai akhirnya tiba waktu bahwa tobatnya ditolak oleh Allah S.W.T. karena ia melakukannya pada saat terpaksa, dalam keadaan terjepit, dan tidak ada pilihan lain.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Setiap orang diantara kamu sekalian melakukan kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang melakukan kesalahan adalah yang bertobat.” (HR. Ahmad).
Ada beberapa ayat diungkapkan yang berkenaan dengan pentingnya tobat meninggalkan segala bentuk kemaksiatan. Bertobat menyesalai atas dosa dari kemaksiatan yang diperbuat. Dengannya diharapkan dapat memberi tambahan keimanan terhadap kebenaran ajaran Allah sehingga tidak senggan-senggan untuk selalu bertobat atas dosa akibat dari perbuatan sehari-hari. Betapa pentingnya untuk segera bertaubat kepada Allah, karena Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat.
Redaksi Ayat

Q.S. Thaha: 82
ÎoTÎ)ur Ö$¤ÿtós9 `yJÏj9 z>$s? z`tB#uäur Ÿ@ÏHxåur $[sÎ=»|¹ §NèO 3ytF÷d$# ÇÑËÈ  
Artinya:
“dan Sesungguhnya aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar”. (Q.S. Thaha [20]: 82)
Q.S. al-Ma’idah: 71

(#þqç7Å¡ymur žwr& šcqä3s? ×puZ÷GÏù (#qßJyèsù (#qJ|¹ur ¢OèO z>$s? ª!$# óOÎgøŠn=tæ §NèO (#qßJtã (#qJ|¹ur ׎ÏVŸ2 öNåk÷]ÏiB 4 ª!$#ur 7ŽÅÁt $yJÎ šcqè=yJ÷ètƒ ÇÐÊÈ
Artinya:
“Dan mereka mengira bahwa tidak akan terjadi suatu bencanapun (terhadap mereka dengan membunuh nabi-nabi itu), Maka (karena itu) mereka menjadi buta dan pekak, Kemudian Allah menerima Tobat mereka, Kemudian kebanyakan dari mereka buta dan tuli (lagi). dan Allah Maha melihat apa yang mereka kerjakan”(Q.S. al-Ma’idah [5] : 71) .
Abu Ja’far juga menakwilkan, bahwa ayat di atas berisi anjuran kepada kaum Israel yang telah dibutakan dan dibuat tuli oleh Allah karena sikapnya yang menolak kedatangan rasul. Sehingga mereka dianjurkan untuk bertobat meninggalkan perbuatan jelek yang mereka pernah lakukan. Sehingga mereka melakukan hal yang Allah senangi sesuai dengan perintah dan larangan-Nya.[3]
Tobat yang diperintahkan Allah kepada orang-orang mukmin adalah “Tobat nasuha” atau tobat yang murni. Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa tobat nasuha mempunyai arti: tobat yang sebenar-benarnya dan pasti, yang mampu menghapuskan dosa-dosa sebelumnya, menguraikan kekusutan orang yang bertobat, menghimpun hatinya dan mengenyahkan kehinaan yang dilakukannya”. Makna dari nasuha sendiri ialah keikhlasan karena Allah SWT tanpa ada lagi cacat dan noda. Kata itu diambil dari nushb (ketulusan) dan menunjukkan pertobatan yang utama.[4]  Muhammad bin Kaab Al Qurthuby menyatakan bahwa tobatan nasuha mengandung arti: “memohon ampun dengan lisan, membebaskan diri dari dosa dengan badan, tekad untuk tidak kembali melakukan lagi dengan sepenuh perasaan, dan menghindari pergaulan yang buruk”.[5] Yang jelas tobat yang harus kita lakukan adalah dengan penuh kesungguhan, penuh penyesalan, dan penuh keikhlasan.
Menurut Dzun Nun Al-Mishri, tobat dibagi dalam tiga tingkatan yaitu :
1.    Orang yang bertobat dari dosa dan keburukannya.
2.    Orang yang bertobat dari kelalaian dan kealfaaan mengingat Allah.
3.    Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.[6]
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat dipahami bahwa tobat adalah amalan seorang hamba untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa yang kemudian ia kembali kepada jalan yang lurus (yakni pada ajaran yang diperintahkan oleh Allah dan senantiasa akan menjauhi segala larangannya) dengan penyesalan telah hanyut dalam kesalahan, dan tidak akan mengulanginya lagi.

B.     Cara Tobatnya Para Sufi
Tobat merupakan maqam pertama yang harus ditempuh untuk menuju pencapaian ma’rifat. Karena Allah tidak akan mendekati hambanya sebelum bertobat. Dengan tobat, jiwa seorang sufi akan bersih dari dosa. Tuhan akan mendekati jiwa seseorang yang suci. Tobat adalah tingkatan menuju maqam berikutnya.
Menurut kaum sufi, tobat dibagi dua macam, yaitu :
1.    Tobat inabah
Yaitu engkau takut kepada Allah karena kekuasaannya (dapat menimpakan hukuman kepadamu)
2.    Tobat istijabah
Yaitu engkau malu (berbuat dosa) kepada Allah karena dekatnya Allah dari dirimu.
C.    Prasayat dan Syarat dalam Bertobat
Ada tiga prasyarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan bertobat.
a.     Menyadari betapa buruknya dampak dosa-dosa yang telah dilakukan terhadap hatinya.
b.    Ingat atas kerasnya siksa Allah ‘Azza wa Jalla, kepedihan yang bakal ia alami akibat murka dan kemarahan-Nya yang engkau tidak akan sanggup untuk menghadapinya.
c.    Seorang hamba mesti menyadari besarnya kelemahan dan kurangnya tenaga untuk bisa menahan diri dari godaan dosa. Sebab, mana mungkin orang yang tidak tahan panasnya matahari dan tamparan tangan polisi akan sanggup menahan panasnya api neraka, pukulan pentungan berduri dari malaikat Zabaniah, gigitan ular-ular yang besarnya seperti leher onta dan kalajengking-kalajengking sebesar keledai yang diciptakan dari api di Neraka Jahanam? Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari kesemuanya itu. Dan semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari murka serta azab-Nya.[7]
Apabila engkau sering mengingat hal-hal tersebut dan membiasakan diri dengan mengingatnya ditengah malam dan di siang hari, maka ia akan membawamu kepada tobat nashuha dari dosa-dosa yang pernah engkau lakukan. Seseorang bisa merasa sangat menyesal terhadap sebuah dosa yang ia lakukan, karena dosa itu telah merusak kebaikan dan kehormatannya, dan mungkin telah merugikannya secara duniawi. Penyesalan ini bukanlah taubat. Apa yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah, hanya dengan menyesali dosa-dosanya maka ia akan bertobat. Dan penyesalan itu benar-benar merupakan sifat seorang hamba Allah. Bila seseorang yang bertobat tetap memperhatikan tiga prasyarat tobat di atas, maka rasa sesal akan lahir di hatinya, dan itu akan mampu mencegahnya dari berbuat dosa. Adanya rasa sesal dihati ini mengarahkan orang itu kepada sikap selalu memohon dan merendahkan diri di hadapan Allah. Menyesali dosa merupakan sebab dari lahirnya tobat, dan merupakan sifat orang-orang yang bertobat. Itulah mengapa Rasulullah saw. Menamakannya dengan tobat.       
 Ada empat syarat tobat, yakni :
a.       Berusaha untuk tidak melakukan dosa lagi. Ia mengikat hatinya kuat-kuat dan menanggalkan keinginannya, bahwa ia tidak akan kembali kepada dosa tersebut sama sekali. Adapun jika ia meninggalkan dosa itu, tapi didalam hatinya masih ada sedikit keinginan untuk mengerjakannya lagi suatu hari, atau ia tidak berkeinginan keras untuk meninggalkannya, maka berarti ia tidak bertobat dari dosa tersebut.
b.      Ia bertobat dari dosa yang pernah ia lakukan sebelumnya. Sebab, jika ia belum pernah melakukan dosa tersebut maka berarti ia menjaga diri darinya, bukan bertobat. Sebagai contoh, adalah benar kalau dikatakan bahwa Nabi saw. Senantiasa menjaga diri dari tindak kekufuran. Sebaliknya, tidak benar jika dikatakan bahwa beliau bertobat dari kekufuran, sebab beliau belum pernah melakukan kekufuran dalam keadaan apa pun. Sedangkan Umar bin Khaththab ra. Dapat disebut orang yang bertaubat dari kekufuran, karena ia pernah mengalami hidup dalam kekufuran.
c.       Dosa yang disesali oleh seorang hamba sekarang adalah memiliki kedudukan dan derajat yang sama dengan dosa yang pernah ia kerjakan dimasa lalu dan ingin ia tinggalkan. Misalnya, ada seorang tua bangka yang dulunya pernah berbuat zina dan mencuri. Ia pasti bisa bertobat disaat kuat dulu, bila ia memang mengingin-kannya. Namun sekarang, disaat sudah tua renta, ia sudah tidak punya pilihan lagi untuk melakukan perbuatan maksiat tersebut atau bertobat darinya, karena memang ia sudah tidak sanggup melakukan kedua perbuatan itu. Pintu tobat memang belum tertutup baginya selagi hidup, hanya saja tobat baginya bukan lagi dengan meninggalkan zina dan mencuri yang memang sudah tidak bisa dilakukannya lagi, tapi dengan meninggalkan dosa
ta, menuduh orang lain berzina, melakukan ghibah dan menebar fitnah. Semua itu adalah tindak kemaksiatan, sekalipun bobotnya berbeda-beda. Dan orang tua itu masih bisa untuk memilih tidak melakukan perbuatan maksiat itu, sebagai tobat kepada-Nya dari perbuatan zina dan mencuri di masa mudanya dulu.
d.      Tobat itu dilakukan semata-mata untuk mengagungkan Allah ‘Azza wa Jalladan menghindari kemurkaan serta siksaa-Nya yang pedih. Murni demikian, bukan karena keinginan duniawi dan rasa takut kepada manusia. Juga bukan karena mencari pujian orang lain, mencari nama, kedudukan, atau karena kelemahan nafsunya.[8]
Bila keempat syarat itu telah diamalkan, maka taubatnya benar.               
  1.     Macam-macam Dosa atau perbuatan yang menuntut tobat
Tobat diharuskan pada setiap melakukan dosa, Maka tobat adalah dari semua dosa besar dan kecil. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada dosa kecil jika dilakukan secara terus menerus dan tidak ada dosa besar bersama istighfar.[9]
Yusuf Al-Qardhawi di dalam bukunya menyebutkan dosa-dosa yang meminta tobat adalah sebagai berikut:[10]
1.      Dosa karena meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan.
Kedurhakaan yang pertama kehadap Allah adalah meninggalkan  apa yang diperintahkan. Ini merupakan kedurhakaan iblis. Sebagaimana di dalam surah Al-Baqarah ayat 34, sebagai berikut:
Kedurhakaan yang kedua adalah mengerjakan apa yang dilarang Allah swt, yaitu merupakan kedurhakaan Adam, yang terkandung dalam firman
Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Baqarah : 35
Tetapi Adam dikalahkan oleh kelemahannya sebagai manusia, sehingga diapun lalai dan tekadnya menjadi lemah karena mendapat bujukan iblis.
2.      Dosa anggota tubuh dan dosa hati
Banyak orang yang tidak tahu macam-macam kedurhakaan dan dosa selain dari apa yang ditangkap indranya atau yang berkaitan dengan anggota tubuh zhahir, seperti kedurhakaan yang lahir dari tangan, kaki, mata, telinga, lidah hidung dan lain-lainnya yang berhubungan dengan syahwat perut, kemaluan, birahi dan naluri keduniaan yang ada pada diri manusia.
Kedurhakaan mata adalah memandang apa yang diharamkan Allah. Kedurhakaan telinga adalah mendengar apa yang diharamkan oleh Allah, seperti kata-kata yang menyimpang yang diucapkan lisan. Kedurhakaan lisan adalah mengucapkan perkataan yang diharamkan oleh Allah, yang menurut Imam al-Ghazali ada dua puluh ma cam, seperti, dusta, ghibah, adu domba, olok-olok, sumpah palsu, janji dusta, kata-kata batil, omong kosong, tuduhan terhadap wanita-wanita muslimah yang lalai, ratap tangis, kutukan, caci maki dan sebagainya.
3.      Dosa yang berupa kedurhakaan dan bid’ah
Jauhilah oleh kalian urusan-urusan yang baru, karena setiap yang baru adalah bid’ah dan bid’ah itu adalah kesesatan”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi).
Barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang baru dalam agama kami yang bukan termasuk darinya maka dia tertolak” (HR. Muttafaqun ‘Alaih)
Artinya urusan yang baru itu tidak diterima, karena itu merupakan taqarrub kepada Allah dengan cara yang tidak menurutnya perintahnya dan tidak seperti yang disyari’atkan dalam agama serta tidak diizinkannya.
Bahkan pada hakikatnya  bid’ah itu merupakan salah satu jenis kedurhakaan, hanya saja dengan sifat yang lebih khusus. Pelakunya mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan bid’ah dan dia yakin bahwa dengan bid’ah ini menjadikan dirinya lebih dekat kepada Allah dari pada orang lain yang tidak melakukannya.
4.      Yang terbatas dan dosa yang tidak terbatas
Di antara ketaatan dan kebaikan, ada yang terbatas dan tidak berpengaruh kecuali  terhadapa dirinya sendiri, seperti shalat, puasa, haji, umrah, haji, dzikir, membaca al-Qur’an, shadaqah, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga, orang miskin dan ibnu sabil. Hal ini tidak berbeda dengan dosa dan keburukan, yang sebagian diantaranya ada yang hanya berpengaruh kepada pelakunya dan tidak menjalar kepada orang lain. Namun sebagian lain ada yang berpengaruh kepada orang lain, sedikit atau banyak.
5.      Yang berkaitan dengan hak Allah dan hak hamba
Cukup banyak contoh dosa, kedurhakaan dan pelanggaran terhadap hak-hak Allah, seperti meninggalkan sebagian perintah, mengerjakan sebagian yang dilarang, seperti minum khamar, mendengarkan hal-hal yang tidak pantas, menyiksa binatang, menyiksa diri sendiri, memboroskan harta dan sebagainya. Sedangkan dosa yang berkaitan dengan hak hamba, terutama hak material, maka taubat darinya, tetapi harus mengembalikan hak itu kepada pemiliknya atau meminta pembebasan darinya atau minta maaf dan memohon pembebasan dari pemenuhan hak karena Allah semata. Jika tidak hak itu sama dengan hutang yang harus dilunasinya, hingga kedua belah pihak harus membuat perhitungan tersendiri pada hari kiamat. Jika kebaikannya tidak mencukupi, maka keburukan-keburukan orang yang memiliki hak itu dialihkan kepadanya, sampai akhirnya hak itu terpenuhi.
BAB III
PENUTUP
           Tobat adalah amalan seorang hamba untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa yang kemudian ia kembali kepada jalan yang lurus (yakni pada ajaran yang diperintahkan oleh Allah dan senantiasa akan menjauhi segala larangannya) dengan penyesalan telah hanyut dalam kesalahan, dan tidak akan mengulanginya lagi.
Menurut kaum sufi, tobat dibagi dua macam, yaitu :
1.      Tobat inabah
Yaitu engkau takut kepada Allah karena kekuasaannya (dapat menimpakan hukuman kepadamu)
2.    Tobat istijabah
Yaitu engkau malu (berbuat dosa) kepada Allah karena dekatnya Allah dari dirimu.
Ada tiga prasyarat dan empat syarat tobat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan bertobat yang telah dijelaskan oleh makalah di atas.
 Yusuf Al-Qardhawi di dalam bukunya menyebutkan dosa-dosa yang meminta taubat adalah sebagai berikut:
a.      Dosa karena meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan.
b.      Dosa anggota tubuh dan dosa hati
c.      Dosa yang berupa kedurhakaan dan bid’ah
d.      Yang terbatas dan dosa yang tidak terbatas
e.      Yang berkaitan dengan hak Allah dan hak hamba










BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, Bandung : Mizan, 1997
Al-Qardhawi, Yusuf. Taubat, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 1999.
Hamas, Abu, Minhajul Abidin Jalan Para Ahli Ibadah, Jakarta Selatan: Khatulistiwa Press, 2013, cet 1.
Joko Suharto, Menuju Ketenangan Jiwa, Jakarta:Rineka Cipta, 2007.
Kurniawan, Irwan, Menyingkap Hati Menghampiri Ilahi, Bandung:Pustaka Hidayah, 2012, cet IX.
Muhammad, Ahsin, Risalah Sufi al-Qusyayri, Bandung:Pustaka, 1994, cet 1.
Nata, Abudin. Akhlak Tasawuf, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010
Syakir, Syaikh Ahmad Muhammad, Syakir, Syaikh Mahmud Muhammad, Tafsir at-Thabari, terj. Jilid 13, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Tasawuf, Wonosobo:Amzah.










[1] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta : Rajawali Press, 2010, hlm. 197

[2]Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Tasawuf, Wonosobo:Amzah, hlm.268.
[3]  Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dan Syaikh Mahmud Muhammad Syakir, Tafsir at-Thabari, terj. Jakarta: Pustaka Azzam, hlm. 223.
[4] Irwan Kurniawan, Menyingkap Hati Menghampiri Ilahi, Bandung:Pustaka Hidayah, 2012 hlm 29.
[5]Joko Suharto, Menuju Ketenangan Jiwa, Jakarta:Rineka Cipta, 2007.  hlm 27.
[6] Ahsin Muhammad, Risalah Sufi al-Qusyayri, Bandung:Pustaka, 1994. hlm 8.
[7] Abu Hamas, Minjahul Abidin Jalan Para Ahli Ibadah, Jakarta Selatan, Khatulistiwa Press, 2013 hlm 39.

[8] Abu Hamas, Minjahul Abidin Jalan Para Ahli Ibadah, Jakarta Selatan, Khatulistiwa Press, 2013 hlm 38-40.
[9] Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, (Bandung : Mizan, 1997), hlm. 313
[10] Yusuf Qardawi, Taubat, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1998), hlm. 51-53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar