Rabu, 13 April 2016

ASBAB AL NUZUL



BAB I
PENDAHULUAN


I.         Latar Belakang Masalah

Pada masa Nabi terkadang ada suatu pertanyaan yang dilontarkan kepada beliau dengan maksud meminta ketegasan hukum atau memohon penjelasan secara terperinci tentang urusan-urusan agama, sehingga turunlah beberapa ayat dari ayat-ayat al-Qur’an, hal yang seperti itulah yang dimaksud dengan asbabun nuzul atau sebab-sebab turunnya al-Qur’an. Terkadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu, dalam hal ini tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun didalam berbagai surah berkenaan dengan satu peristiwa. Asbab al-Nuzul adakalanya berupa kisah tentang peristiwa yang terjadi, atau berupa pertanyaan yang disampaikan kepada Rasulullah SAW untuk mengetahui hukum suatu masalah, sehingga Al-Qur'an pun turun sesudah terjadi peristiwa atau menjawab pertanyaan tersebut.
Al-Qur’an diturunkan untuk memahami petunjuk kepada manusia kearah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada allah SWT dan risalah-Nya, sebagian besar qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi diantara mereka khusus yang memerlukan penjelasan hukum allah SWT.[1] Al-Qur’an harus dicerna dalam konteks perjuanagn Nabi dan latar belakang Perjuangannya. Oleh sebab itu, hampir semua literatur yang berkenaan dengan Al-Qur’an harus menekankan pentingnya Asbab An-Nuzul.
II.      Rumusan Massalah
a)       Apa pengertian dari Asbab al-Nuzul?
b)      Apa saja Macam-macam Asbab al-Nuzul?
c)      Apa arti penting Asbab al-Nuzul dalam menafsirkan Al-Quran?
d)     Bagaimana kaedah dalam penetapan hukum yang berkaitan dengan Asbab al-Nuzul?

BAB II
PEMBAHASAN

1.         Pengertian Asbab al-Nuzul
Kata Asbabun- Nuzul (اسباب النزول ) terdiri atas kata asbab (اسباب) dan an-nuzul (النزول). Secara etimologis kata asbabun nuzul berasal dari kata “asbab” dan “nuzul”.[2] Kata asbab merupakan bentuk jamak dari kata sababun yang berarti sebab, alasan, illat.[3] Sedangkan kata nuzul berasal dari kata kerja nazala yang berarti turun.[4] Secara terminologi, Asbabun nuzul dapat diartikan sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya ayat (Al-Qur’an), seperti halnya asbabul wurud dalam istilah ulumul hadits.
Para ulama’ berpendapat bahwa berkaitan dengan latar belakang turunnya, ayat-ayat Al-Qur’an turun dengan dua cara. Pertama ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan oleh Allah begitu saja tanpa suatu sebab atau peristiwa tertentu yang melatarbelakangi. Kedua, ayat-ayat yang turun karene terdapat suatu peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Banyak para Ulama’ yang merumuskan tentang pengertian Asbab al-Nuzul. Di antaranya :
1.      Menurut Az-Zarqoni:
Asbab An-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan Al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.”[5]
2.      Mana’ Al-Qotton:
Asbab An-Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya Al-Qur’an, berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa suatu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.”[6]


3.      Ash-Shabuni:
Asbab An-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.”
4.      Shubbi Sholih:
Asbab An-Nuzul adalah suatu yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa, sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum peristiwa itu terjadi.”[7]
Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa asbabun nuzul merupakan peristiwa atau kejadian yang melatarbelakangi turunnya satu atau beberapa ayat dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari peristiwa tersebut. Jadi dapat dipahami bahwa asbabun nuzul ada beberapa unsur penting yang harus dilihat dalam menganalisa sebab turunnya suatu ayat, yaitu adanya suatu peristiwa, pelaku,  waktu, dan tempat perlu diidentifikasi dengan cermat guna menerapkan ayat-ayat itu pada kasus lain dan di tempat dan waktu yang berbeda.[8] Hal ini tidak berarti bahwa setiap ayat yang turun disebabkan oleh suatu peristiwa atau kejadian, atau karena adanya pertanyaan kepada Nabi mengenai agama. Tetapi ada diantara ayat yang turun tanpa adanya sebab, yaitu mengenai aqidah, iman, kewajiban-kewajiban dalam Islam.
Dengaan merujuk para Ulama yang berpendapat pada kitab-kitab ‘Ulum Al-Qur’an, dapat disimpulkan bahwa secara umum dalam berbagai literature disebutkan bahwa Asbab al-Nuzul adalah segala sesuatu yang menjadikan sebab turunnya suatu ayat Al-Qur’an, baik untuk mengomentari, menjawab ataupun menerangkan hukum.

2. Macam-macam Asbab al-Nuzul
Penggolongan asbab al nuzul dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang pertama, segi aspek bentuk sebab turunnya ayat dan yang kedua dari segijumlah sebab dan ayat yang turun.
1.      Asbab al nuzul ditinjau dari segi bentuknya.
Ditinjau dari segi bentuknya, asbab al nuzul dibagi menjadi dua bentuk, yaitu dalam bentuk peristiwa dan dalam bentuk pertanyaan. Dalam bentuk  peristiwa asbab al nuzul dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a)      Peristiwa yang berupa pertengkaran atau persengketaan, seperti perselisihan berkecamuk yang terjadi antara segolongan dari suku Aus dan suku Khazraj.
b)      Peristiwa yang berupa kesalahan yang serius, seperti peristiwa seorang sahabat yang mengimami sholat dalam keadaan sedang mabuk, sehingga mengalami kekeliruan dalam membaca suatu surah setelah surah Al-Fatihah.
c)      Peristiwa yang berupa hasrat, cita-cita serta harapan atau keinginan, seperti kesesuaian-kesesuaian hasrat dan keinginan Umar bin Khattab dengan ketentuan-ketentuan ayat-ayat Al-Qur’an.[9]
Sedangkan asbab al nuzul yang berbentuk pertanyaan dibagi menjadi tiga yaitu pertanyaan pada masa lalu, masa yang sedang berlangsung, dan masa yang akan datang.[10]
a)      Pertanyaan yang berhubungan dengan masa lalu, seperti kasus pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang Quraisy tentang “Ashbab al-Kahfi” dan “Dzulkarnain”. Rasul kemudian menjawab: “Besok akan aku beritahukan kamu”, tanpa mengucapkan Insyaallah, ternyata wahyu terlambat turun.
b)      Pertanyaan yang berhubungan dengan masa yang sedang berlangsung. Sebagai contohnya dalam  suatu  riwayat dari ‘Ikrimah yang diterima dari Ibnu Abas, ia mengatakan, bahwa pada suatu saat ketika Rasulullah saw sedang berjalan-jalan di Madinah, beberapa orang Quraisy meminta materi pertanyaan kepada orang Yahudi  yang kebetulan dijumpainya, dengan mengatakan: “Berikanlah kami materi pertanyaan yang akan kami tanyakan kepada orang itu”. Maka orang-orang Yahudi memberikan pertanyaan kepada mereka dengan mngatakan: “Tanyakan kepadanya tentang ruh”. Orang-orang Quraisy pun kemudian menanyakan tentang hal itu kepada Rasulullah, maka turunlah firman Allah kepada beliau sebagai jawaban tas pertanyaan tersebut.
c)      Pertanyaan yang berhubungan dengan masa yang akan datang, seperti pertanyaan orang-orang kafir Quraisy tentang hari kiamat. Pertanyaan tersebut diabadikan dalam firman Allah surat An Naazi’aat ayat 42-43. Sebagai jawabannya terdapat dalam surat yang sama ayat 44.
2.      Asbab al nuzul ditinjau dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun.
Berdasarkan dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun asbab al nuzul dibagi kepada ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid dan ta’addud al-nazil wa al-sabab wahid. Sebab turun ayat disebut ta’addud apabila ditemukan dua riwayat yang berbeda atau lebih tentang sebab turun suatu ayat/sekelompok ayat tertentu. Sebaliknya, sebab turun itu disebut wahidatau tunggal apabila riwayatnya hanya satu. Suatu ayat disebut ta’addud al-nazil bila persoalan yang terkandung dalam ayat yang turun sehubungan dengan sebab tertentu lebih dari satu persoalan.
Yang dimaksud dengan ta’addud  al-asbab wa al-nazil wahid adalah sebab turun suatu ayat itu banyak, sedangkan ayat yang turun hanya satu. Apabila ditemukan dua riwayat atau lebih mengenai sebab nuzul suatu ayat, dan masing-masing riwayat tersebut diteliti, maka ada empat permasalahan yang perlu diperhatikan yaitu:
1.      Salah satu diantara dua riwayat ada yang berstatus shoheh dan ada yang tidak sholeh, maka yang wajib diambil adalah riwayat yang sholeh.
2.      Kedua riwayat berstatus shoheh, namun salah satu diantara keduanya ada yang lebih unggul/akurat, maka yang diambil adalah yang lebih unggul.
3.      Ada dua riwayat yang sama-sama shoheh, namun tidak ada informasi mana yang lebih akurat diantara keduanya, maka dua riwayat tersebut dapat dikompromikan (al jam’u).
4.      Kedua riwayat sama status keshohehannya, dan diantara keduanya tidak ada yang lebih unggul,  maka masing-masing dari kedua riwayat tersebut dapat diamalkan.[11]
Ta’addud al-nazil wa al-sabab wahid adalah ayat yang turun banyak sedangkan sebab turunnya hanya satu, maka dapat digunakan untuk semua ayat tersebut. Contohnya, ada riwayat Hakim dari Ummu Salamah mengatakan: “Saya bertanya kepadamu Ya Rasulullah, mengapa engkau menyebut laki-laki dan tidak menyebut perempuan?”, maka turunlah QS Al-Ahzab ayat 35.[12]

3. Arti Penting Asbab al-Nuzul dalam Menafsirkan Al-Quran
Asbabun nuzul penting untuk di ketahui dalam memahami dan merenungi suatu ayat. Seperti di riwayatkan oleh Al Wahady(wafat tahun 427 hijriah) beliau berkata : “Tidaklah mungkin kita mengetahui tafsir ayat, tanpa mengetahui kisahnya dan sebab turunnya.”[13]
Adapun arti pentingnya kita mengetahui asbabun nuzul yaitu :
1.      Membantu kita untuk memahami ayat-ayat alqur’an,
2.      Menjelaskan sebab nuzulul qur’an adalah jalan yang kuat untuk memahami makna-makna alqur’an.
3.      Membantu kita menentukan apakah suatu ayat mengandung pesan khusus atau umum dan dalam keadaan bagaimana ayat itu mesti di terapkan.
Mengetahui asbabun nuzul sangat besar pengaruhnya dalam memahami makna ayat yang mulia. Oleh karena itu, para ulama sangat berhati-hati dalam memahami asbabun nuzul sehingga banyak di antara mereka yang menulis tentang asbabun nuzul. Diantaranya yang terdahulu ialah Ali al-Madani (guru Imam Bukhari r.a).Mengingat betapa pentingnya “Asbabun Nuzul” maka bisa dikatakan bahwa sebagian ayat tidak mungkin bisa di ketahui maknanya atau di ambil hukum darinya sebelum mengetahui secara pasti tentang asbabun nuzulnya. Contoh ayat :
     “ Kepunyaan Allah lah Timur dan Barat, kemana pun engkau menghadapkan wajah, di sana lah kiblat (yang di sukai ) Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (karunia-Nya )lagi Maha Mengetahui.(Q.S Al-Baqarah : 115).[14]
Kadangkala terjadi pemahaman seolah-olah ayat di atas memperbolehkan sholat menghadap kepada selain qiblat (Ka’bah). Padahal pemahaman seperti ini salah, karena menghadap kiblat itu termasuk syarat sahnya sholat. Namun dengan mengetahui “sebab turunnya”, maka pemahaman menjadi jelas, Sesungguhnya ayat itu turun dalam kaitannya dengan orang yang bepergian, dimana ia kehilangan kiblatnya atau tidak tau arahnya karena pada saat itu cuaca lagi mendung. Kemudian setelah berijtihad, ia melaksanakan sholat, Maka kemanapun ia  menghadap ketika itu sholatnya tetap sah. Ia tidak wajib mengulangi sholatnya lagi, Mana kala telah menemukan kiblatnya, meskipun  ia tahu bahwasanya sholatnya tadi tidak menghadap kiblat. Jelaslah bahwa ayat tersebut bukan berlaku untuk umum, melainkan untuk orang-orang tertentu yang tidak mengetahui arah kiblat.
     Contoh lain:
Seandainya Asbabun Nuzul tidak dijelaskan, tentulah masyarakat islam hingga hari ini, boleh minum minuman yang memabukkan berdasarkan kepada firman Allah SWT,yaitu “Dan tidak ada dosa atas orang-orang yang telah beriman dan mengerjakan amalan-amalan shalil terhadap apa yang mereka makan …”(Q.S Al Maidah :93)
Telah di hikayatkan, bahwa Ustman ibn Madh’un, Amar ibn Ma’di Kariba berkata :”Khamar boleh di minum .”Beliau berhujjah dengan ayat tersebut. Beliau tidak mengetahui sebab nuzulnya.
Kemudian di riwayatkan oleh Hasan dan lain-lain bahwa di ketika turun ayat yang mengharamkan minum-minuman keras, Para sahabat berkata :”Bagaimanakah keadaan teman-teman kami yang telah meninggal yang perutnya penuh dengan arak?”.Allah SWT telah menandaskan,bahwasanya arak itu najis (rijs),Berkenaan dengan pernyataan itu Allah menurunkan ayat 93 surat Al-Maidah.[15]
Ayat-ayat yang demikian itu banyak di temukan dalam Al-Quran ,Allah menurunkannya untuk menunjuki manusia kepada jalan yang lurus. Dan Allah menjadikan ayat-ayat itu mempunyai hubungan menurut siyaq Qur-any dengan ayat-ayat yang sebelumnya dan ayat-ayat yang sesudahnya, di turunkannya bukan sebagai jawaban bagi sesuatu petanyaan dan bukan pula sebagai penjelasan bagi sesuatu peristiwa yang terjadi. 

4. Kaedah Penetapan Hukum yang Berkaitan dengan Asbab al-Nuzul
Asbabun Nuzul sangatlah erat kaitannya dengan kaidah penetapan hukum. Seringkali terdapat kebingungan dan keraguan dalam mengartikan ayat-ayat al-Qur’an karena tidak mengetahui sebab turunnya ayat.
Dalam memahami makna ayat Alquran yang mengandung lafal umum dan dikaitkan dengan sebab turunnya, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan dasar pemahaman. Karena itu, berkaitan dengan masalah ini ada dua kaedah yang bertolak belakang. Dalam Ilmu fiqh dikenal dengan istilah, اْلعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
(penetapan makna suatu ayat didasarkan pada bentuk umumnya lafazh (bunyi lafazh), bukan sebabnya yang khusus). Dan
اْلعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لَا بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ
(penetapan makna suatu ayat didasarkan pada penyebabnya yang khusus (sebab nuzul), bukan pada bentuk lafazhnya yang umum).
Keumuman lafazh dan kekhususan sebab berarti bahwa jawaban lebih umum dari sebab dan sebab lebih khusus dari jawaban. Jawaban yang dimaksudkan disini adalah, bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan sebagai tanggapan terhadap pertanyaan atau peristiwa yang dihadapi oleh Nabi s.a.w. dan para sahabat-sahabatnya pada masa turunnya ayat al-Qur’an. Sedangkan “sebab” berarti pertanyaan atau peristiwa yang menjadi sebab turunnya al-Qur’an pada masa itu[16]
Contoh Penerapan Kaedah  اْلعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Firman Allah, Surat Al-Mujadallah, 1-4 yang artinya:
Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) ia adalah  isteri mereka bukan  ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.”
Sebab turunnya ayat tersebut adalah berkaitan dengan persoalan seorang wanita yang bernama Khaulah binti Isa’ al-Labban yang dizhihar oleh suaminya yang bernama Aus bin Shamit; dengan mengatakan kepada isterinya: “Kamu bagiku sudah seperti punggung ibuku”. Perkataan tersebut bermakna, bahwa dia tidak boleh lagi menggauli isterinya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya. Menurut kebiasaan orang Arab Jahiliyah, kalimat zihar seperti itu sudah sama dengan menthalak isterinya. Khaulah kemudian mengadukan halnya itu kepada Nabi s.a.w. Rasulullah selanjutnya menjawab; bahwa dalam hal ini belum ada keputusan Allah. Dalam riwayat yang lain, Rasulullah mengatakan: “Engkau telah diharamkan bersetubuh dengan dia”. Lalu Khaulah berkata” Tetapi suamiku belum mengatakan kata-kata thalak” ya Rasulullah.kemudian Khaulah berulang kali mendesak kepada beliau agar menetapkan keputusan mengenai masalah tersebut. Sehingga, turunlah ayat tersebut di atas dan ayat-ayat berikutnya yang menetapkan tentang hukum zhihar.[17]
Contoh Penerapan Kaedah اْلعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لَا بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 115:

5. وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ إِنَّ اللّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya:
“Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situ-lah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas Rahmat-Nya, lagi Maha Mengetahui”.  (QS Al-Baqarah: 115).
Jika dalam memahami ayat 115 ini kita terapkan kaedah اْلعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَب  maka dapat disimpulkan, bahwa shalat dapat dilakukan dengan menghadap ke arah mana saja, tanpa dibatasi oleh situasi dan kondisi di mana dan dalam keadaan bagaimana kita shalat. Kesimpulan demikian ini bertentangan dengan dalil lain (ayat) yang menyatakan, bahwa dalam melaksanakan shalat harus menghadap ke arah Masjidil-Haram. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Alllah:
6. وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۖ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Artinya:
Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan (Al-Baqarah: 149).
             Akan tetapi, jika dalam memahami Surat Al-Baqarah ayat 115 di atas dikaitkan dengan sebab nuzulnya, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah, bahwa menghadap ke arah mana saja dalam shalat adalah sah jika shalatnya dilakukan di atas kendaraan yang sedang berjalan, atau dalam kondisi tidak mengetahui arah kiblat (Masjidil-Haram).[18] Dalam kasus ayat yang demikian ini pemahamannya harus didasarkan pada sebab turunnya ayat yang bersifat khusus dan tidak boleh berpatokan pada bunyi lafazh yang bersifat umum.







PENUTUP
Asbab al-Nuzul adalah segala sesuatu yang menjadikan sebab turunnya suatu ayat Al-Qur’an, baik untuk mengomentari, menjawab ataupun menerangkan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Suyuti, Al-Itqon fi Ulum Al-Qur’an, Beirut, Dar Al-Fikr, 1979.
Anshori,ULUMUL QUR’AN Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan,Jakarta:Rajawali Pers,2013.
Anwar, Rosihan, Ulumul Qur’an, Cet. III; Bandung: Daftar Pustaka, 2006.
Az-Zarqoni, Muhammad, Manahil Al-Irfan fi Ulm Al-Qur’an, Beirut,1996.
Beirut, 1988.
Manna’ Al-Qoton , mabahis fi Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, 1973.
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Jakarta: Litera AntarNusa, 2009.
Munawwir, Ahmad Warson , Almunawwir: Kamus Arab-Indonesia, Cet. XIV;      Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
Shihab, Quraish, dkk., Sejarah dan Ulumul Qur’an, Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus,                     1999
Sholih, Shubi, mabahis fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Qolam Li Al-Malayyin,
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Alqur’an (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra,2002
Usman, ULUMUL QUR’AN, Yogyakarta: Teras, 2009.
Wahid,Ramli Abdul,Ulumul Qur’an,Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,1993.


[1] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Jakarta: Litera AntarNusa, 2009, hal. 136.
[2] Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an, Cet. III; Bandung: Daftar Pustaka, 2006, hal. 60.
[3] Ahmad Warson Munawwir , Almunawwir: Kamus Arab-Indonesia, Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, hal. 602
[4] Ahmad Warson Munawwir , Almunawwir: Kamus Arab-Indonesia, Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, hal. 409
[5] Muhammad Az-Zarqoni, Manahil Al-Irfan fi Ulm Al-Qur’an, Beirut, ttp,1996 Jilid I, hal. 106
[6] Manna’ Al-Qoton , mabahis fi Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, ttp, 1973, hlm. 78.

[7] Shubi Sholih, mabahis fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Qolam Li Al-Malayyin, Beirut, 1988, hlm. 132.

[8] Quraish Shihab., dkk., Sejarah dan Ulumul Qur’an, Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, h. 78.
[9]Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm.113-114.
[10]Ramli Abdul Wahid,Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hlm.38.
[11]Anshori, Ulumul Qur’an,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm.106-107.
[12]Anshori, Ulumul Qur’an,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm.107.
[13] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Alqur’an (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra,2002), hlm. 15.
[15] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Alqur’an (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra,2002), hlm. 15
[16] Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009), hlm. 148.
[17] Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009), hlm. 148
[18] https://danankphoenix.wordpress.com/2010/03/30/asbabun-nuzul/