BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang Masalah
Pada
masa Nabi terkadang ada suatu pertanyaan yang dilontarkan kepada beliau dengan
maksud meminta ketegasan hukum atau memohon penjelasan secara terperinci
tentang urusan-urusan agama, sehingga turunlah beberapa ayat dari ayat-ayat
al-Qur’an, hal yang seperti itulah yang dimaksud dengan asbabun
nuzul atau sebab-sebab turunnya al-Qur’an. Terkadang banyak ayat yang
turun, sedang sebabnya hanya satu, dalam hal ini tidak ada permasalahan yang
cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun didalam berbagai surah
berkenaan dengan satu peristiwa. Asbab
al-Nuzul adakalanya berupa kisah tentang peristiwa yang
terjadi, atau berupa pertanyaan yang disampaikan kepada Rasulullah SAW untuk
mengetahui hukum suatu masalah, sehingga Al-Qur'an pun turun sesudah terjadi
peristiwa atau menjawab pertanyaan tersebut.
Al-Qur’an diturunkan untuk memahami petunjuk kepada manusia kearah tujuan
yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang
didasarkan pada keimanan kepada allah SWT dan risalah-Nya, sebagian besar
qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan menyaksikan banyak peristiwa
sejarah, bahkan kadang terjadi diantara mereka khusus yang memerlukan
penjelasan hukum allah SWT.[1] Al-Qur’an harus dicerna dalam konteks
perjuanagn Nabi dan latar belakang Perjuangannya. Oleh sebab itu, hampir semua
literatur yang berkenaan dengan Al-Qur’an harus menekankan pentingnya Asbab
An-Nuzul.
II.
Rumusan Massalah
a)
Apa pengertian dari Asbab al-Nuzul?
b)
Apa saja Macam-macam Asbab al-Nuzul?
c)
Apa arti penting Asbab al-Nuzul dalam menafsirkan Al-Quran?
d)
Bagaimana kaedah dalam penetapan hukum yang berkaitan
dengan Asbab al-Nuzul?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Asbab al-Nuzul
Kata
Asbabun- Nuzul (اسباب
النزول
) terdiri atas kata asbab (اسباب)
dan an-nuzul (النزول). Secara
etimologis kata asbabun nuzul berasal dari kata “asbab” dan “nuzul”.[2]
Kata asbab merupakan bentuk jamak dari kata sababun yang berarti
sebab, alasan, illat.[3]
Sedangkan kata nuzul berasal dari kata kerja nazala yang berarti
turun.[4]
Secara terminologi, Asbabun nuzul dapat diartikan sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya ayat
(Al-Qur’an), seperti halnya asbabul wurud dalam istilah ulumul hadits.
Para
ulama’ berpendapat bahwa berkaitan dengan latar belakang turunnya, ayat-ayat
Al-Qur’an turun dengan dua cara. Pertama ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan
oleh Allah begitu saja tanpa suatu sebab atau peristiwa tertentu yang
melatarbelakangi. Kedua, ayat-ayat yang turun karene terdapat suatu
peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Banyak para Ulama’ yang
merumuskan tentang pengertian Asbab al-Nuzul.
Di antaranya :
1. Menurut Az-Zarqoni:
“Asbab An-Nuzul
adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan Al-Qur’an yang
berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.”[5]
2. Mana’ Al-Qotton:
“Asbab An-Nuzul
adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya Al-Qur’an, berkenaan
dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa suatu kejadian atau berupa
pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.”[6]
3. Ash-Shabuni:
“Asbab An-Nuzul
adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa
ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik
pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan
agama.”
4. Shubbi Sholih:
“ Asbab
An-Nuzul adalah suatu yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat
Al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa, sebagai respon atasnya
atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum peristiwa itu terjadi.”[7]
Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa asbabun
nuzul merupakan peristiwa atau kejadian yang melatarbelakangi turunnya satu
atau beberapa ayat dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan
masalah-masalah yang timbul dari peristiwa tersebut. Jadi dapat dipahami bahwa
asbabun nuzul ada beberapa unsur penting yang harus dilihat dalam menganalisa
sebab turunnya suatu ayat, yaitu adanya suatu peristiwa, pelaku, waktu,
dan tempat perlu diidentifikasi dengan cermat guna menerapkan ayat-ayat itu
pada kasus lain dan di tempat dan waktu yang berbeda.[8] Hal
ini tidak berarti bahwa setiap ayat yang turun disebabkan oleh suatu peristiwa
atau kejadian, atau karena adanya pertanyaan kepada Nabi mengenai agama. Tetapi
ada diantara ayat yang turun tanpa adanya sebab, yaitu mengenai aqidah, iman,
kewajiban-kewajiban dalam Islam.
Dengaan merujuk para Ulama yang berpendapat pada kitab-kitab ‘Ulum
Al-Qur’an, dapat disimpulkan bahwa secara umum dalam berbagai literature
disebutkan bahwa Asbab al-Nuzul adalah segala sesuatu yang menjadikan
sebab turunnya suatu ayat Al-Qur’an, baik untuk mengomentari, menjawab ataupun
menerangkan hukum.
2. Macam-macam Asbab al-Nuzul
Penggolongan
asbab al nuzul dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu yang pertama, segi aspek bentuk sebab turunnya ayat dan yang
kedua dari segijumlah sebab dan ayat yang turun.
1.
Asbab al
nuzul
ditinjau dari segi bentuknya.
Ditinjau
dari segi bentuknya, asbab al nuzul
dibagi menjadi dua bentuk, yaitu dalam bentuk peristiwa dan dalam bentuk
pertanyaan. Dalam bentuk peristiwa asbab al nuzul dibagi menjadi tiga
macam, yaitu:
a) Peristiwa
yang berupa pertengkaran atau persengketaan, seperti perselisihan berkecamuk
yang terjadi antara segolongan dari suku Aus dan suku Khazraj.
b) Peristiwa
yang berupa kesalahan yang serius, seperti peristiwa seorang sahabat yang
mengimami sholat dalam keadaan sedang mabuk, sehingga mengalami kekeliruan
dalam membaca suatu surah setelah surah Al-Fatihah.
c) Peristiwa
yang berupa hasrat, cita-cita serta harapan atau keinginan, seperti
kesesuaian-kesesuaian hasrat dan keinginan Umar bin Khattab dengan
ketentuan-ketentuan ayat-ayat Al-Qur’an.[9]
Sedangkan
asbab al nuzul yang berbentuk
pertanyaan dibagi menjadi tiga yaitu pertanyaan pada masa lalu, masa yang sedang
berlangsung, dan masa yang akan datang.[10]
a) Pertanyaan
yang berhubungan dengan masa lalu, seperti kasus pertanyaan yang diajukan oleh
orang-orang Quraisy tentang “Ashbab
al-Kahfi” dan “Dzulkarnain”.
Rasul kemudian menjawab: “Besok akan aku beritahukan kamu”, tanpa mengucapkan Insyaallah, ternyata wahyu terlambat
turun.
b) Pertanyaan
yang berhubungan dengan masa yang sedang berlangsung. Sebagai contohnya
dalam suatu riwayat dari ‘Ikrimah yang diterima dari Ibnu
Abas, ia mengatakan, bahwa pada suatu saat ketika Rasulullah saw sedang
berjalan-jalan di Madinah, beberapa orang Quraisy meminta materi pertanyaan
kepada orang Yahudi yang kebetulan
dijumpainya, dengan mengatakan: “Berikanlah kami materi pertanyaan yang akan
kami tanyakan kepada orang itu”. Maka orang-orang Yahudi memberikan pertanyaan
kepada mereka dengan mngatakan: “Tanyakan kepadanya tentang ruh”. Orang-orang
Quraisy pun kemudian menanyakan tentang hal itu kepada Rasulullah, maka
turunlah firman Allah kepada beliau sebagai jawaban tas pertanyaan tersebut.
c)
Pertanyaan yang berhubungan
dengan masa yang akan datang, seperti pertanyaan orang-orang kafir Quraisy
tentang hari kiamat. Pertanyaan tersebut diabadikan dalam firman Allah surat An
Naazi’aat ayat 42-43. Sebagai jawabannya terdapat dalam surat yang sama ayat
44.
2.
Asbab al
nuzul
ditinjau dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun.
Berdasarkan
dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun asbab
al nuzul dibagi kepada ta’addud
al-asbab wa al-nazil wahid dan ta’addud
al-nazil wa al-sabab wahid. Sebab turun ayat disebut ta’addud apabila ditemukan dua riwayat yang berbeda atau lebih
tentang sebab turun suatu ayat/sekelompok ayat tertentu. Sebaliknya, sebab
turun itu disebut wahidatau tunggal
apabila riwayatnya hanya satu. Suatu ayat disebut ta’addud al-nazil bila
persoalan yang terkandung dalam ayat yang turun sehubungan dengan sebab
tertentu lebih dari satu persoalan.
Yang
dimaksud dengan ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid adalah sebab
turun suatu ayat itu banyak, sedangkan ayat yang turun hanya satu. Apabila
ditemukan dua riwayat atau lebih mengenai sebab nuzul suatu ayat, dan
masing-masing riwayat tersebut diteliti, maka ada empat permasalahan yang perlu
diperhatikan yaitu:
1.
Salah satu diantara dua riwayat
ada yang berstatus shoheh dan ada yang tidak sholeh, maka yang wajib diambil
adalah riwayat yang sholeh.
2.
Kedua riwayat berstatus shoheh,
namun salah satu diantara keduanya ada yang lebih unggul/akurat, maka yang
diambil adalah yang lebih unggul.
3.
Ada dua riwayat yang sama-sama
shoheh, namun tidak ada informasi mana yang lebih akurat diantara keduanya,
maka dua riwayat tersebut dapat dikompromikan (al jam’u).
4.
Kedua riwayat sama status
keshohehannya, dan diantara keduanya tidak ada yang lebih unggul, maka masing-masing dari kedua riwayat
tersebut dapat diamalkan.[11]
Ta’addud al-nazil wa
al-sabab wahid
adalah ayat yang turun banyak sedangkan sebab turunnya hanya satu, maka dapat
digunakan untuk semua ayat tersebut. Contohnya, ada riwayat Hakim dari Ummu
Salamah mengatakan: “Saya bertanya kepadamu Ya Rasulullah, mengapa engkau
menyebut laki-laki dan tidak menyebut perempuan?”, maka turunlah QS Al-Ahzab
ayat 35.[12]
3. Arti Penting Asbab al-Nuzul dalam Menafsirkan Al-Quran
Asbabun nuzul penting untuk di ketahui
dalam memahami dan merenungi suatu ayat. Seperti di riwayatkan oleh Al
Wahady(wafat tahun 427 hijriah) beliau berkata : “Tidaklah mungkin kita
mengetahui tafsir ayat, tanpa mengetahui kisahnya dan sebab turunnya.”[13]
Adapun arti pentingnya
kita mengetahui asbabun nuzul yaitu :
1.
Membantu
kita untuk memahami ayat-ayat alqur’an,
2.
Menjelaskan
sebab nuzulul qur’an adalah jalan yang kuat untuk memahami makna-makna
alqur’an.
3.
Membantu
kita menentukan apakah suatu ayat mengandung pesan khusus atau umum dan dalam
keadaan bagaimana ayat itu mesti di terapkan.
Mengetahui asbabun nuzul
sangat besar pengaruhnya dalam memahami makna ayat yang mulia. Oleh karena itu,
para ulama sangat berhati-hati dalam memahami asbabun nuzul sehingga banyak di
antara mereka yang menulis tentang asbabun nuzul. Diantaranya yang terdahulu
ialah Ali al-Madani (guru Imam Bukhari r.a).Mengingat betapa pentingnya
“Asbabun Nuzul” maka bisa dikatakan bahwa sebagian ayat tidak mungkin bisa di
ketahui maknanya atau di ambil hukum darinya sebelum mengetahui secara pasti
tentang asbabun nuzulnya. Contoh ayat :
“ Kepunyaan Allah lah Timur dan Barat, kemana pun engkau
menghadapkan wajah, di sana lah kiblat (yang di sukai ) Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Luas (karunia-Nya )lagi Maha Mengetahui.(Q.S Al-Baqarah : 115).[14]
Kadangkala terjadi
pemahaman seolah-olah ayat di atas memperbolehkan sholat menghadap kepada
selain qiblat (Ka’bah). Padahal pemahaman seperti ini salah, karena menghadap
kiblat itu termasuk syarat sahnya sholat. Namun dengan mengetahui “sebab
turunnya”, maka pemahaman menjadi jelas, Sesungguhnya ayat itu turun dalam
kaitannya dengan orang yang bepergian, dimana ia kehilangan kiblatnya atau
tidak tau arahnya karena pada saat itu cuaca lagi mendung. Kemudian setelah
berijtihad, ia melaksanakan sholat, Maka kemanapun ia menghadap ketika itu sholatnya tetap sah. Ia
tidak wajib mengulangi sholatnya lagi, Mana kala telah menemukan kiblatnya,
meskipun ia tahu bahwasanya sholatnya
tadi tidak menghadap kiblat. Jelaslah bahwa ayat tersebut bukan berlaku untuk
umum, melainkan untuk orang-orang tertentu yang tidak mengetahui arah kiblat.
Contoh lain:
Seandainya Asbabun
Nuzul tidak dijelaskan, tentulah masyarakat islam hingga hari ini, boleh minum
minuman yang memabukkan berdasarkan kepada firman Allah SWT,yaitu “Dan tidak
ada dosa atas orang-orang yang telah beriman dan mengerjakan amalan-amalan
shalil terhadap apa yang mereka makan …”(Q.S Al Maidah :93)
Telah di hikayatkan,
bahwa Ustman ibn Madh’un, Amar ibn Ma’di Kariba berkata :”Khamar boleh di minum
.”Beliau berhujjah dengan ayat tersebut. Beliau tidak mengetahui sebab
nuzulnya.
Kemudian di riwayatkan
oleh Hasan dan lain-lain bahwa di ketika turun ayat yang mengharamkan
minum-minuman keras, Para sahabat berkata :”Bagaimanakah keadaan teman-teman
kami yang telah meninggal yang perutnya penuh dengan arak?”.Allah SWT telah
menandaskan,bahwasanya arak itu najis (rijs),Berkenaan dengan pernyataan itu
Allah menurunkan ayat 93 surat Al-Maidah.[15]
Ayat-ayat yang demikian
itu banyak di temukan dalam Al-Quran ,Allah menurunkannya untuk menunjuki
manusia kepada jalan yang lurus. Dan Allah menjadikan ayat-ayat itu mempunyai
hubungan menurut siyaq Qur-any dengan ayat-ayat yang sebelumnya dan ayat-ayat
yang sesudahnya, di turunkannya bukan sebagai jawaban bagi sesuatu petanyaan
dan bukan pula sebagai penjelasan bagi sesuatu peristiwa yang terjadi.
4. Kaedah Penetapan Hukum yang Berkaitan dengan Asbab al-Nuzul
Asbabun
Nuzul sangatlah erat kaitannya dengan kaidah penetapan hukum. Seringkali
terdapat kebingungan dan keraguan dalam mengartikan ayat-ayat al-Qur’an karena
tidak mengetahui sebab turunnya ayat.
Dalam
memahami makna ayat Alquran yang mengandung lafal umum dan dikaitkan dengan
sebab turunnya, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan dasar pemahaman.
Karena itu, berkaitan dengan masalah ini ada dua kaedah yang bertolak belakang.
Dalam Ilmu fiqh dikenal dengan istilah, اْلعِبْرَةُ
بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
(penetapan makna suatu ayat didasarkan pada bentuk umumnya lafazh (bunyi lafazh), bukan sebabnya yang khusus). Dan اْلعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لَا بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ
(penetapan makna suatu ayat didasarkan pada penyebabnya yang khusus (sebab nuzul), bukan pada bentuk lafazhnya yang umum).
(penetapan makna suatu ayat didasarkan pada bentuk umumnya lafazh (bunyi lafazh), bukan sebabnya yang khusus). Dan اْلعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لَا بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ
(penetapan makna suatu ayat didasarkan pada penyebabnya yang khusus (sebab nuzul), bukan pada bentuk lafazhnya yang umum).
Keumuman
lafazh dan kekhususan sebab berarti bahwa jawaban lebih umum dari sebab dan
sebab lebih khusus dari jawaban. Jawaban yang
dimaksudkan disini adalah, bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan sebagai
tanggapan terhadap pertanyaan atau peristiwa yang dihadapi oleh Nabi s.a.w. dan
para sahabat-sahabatnya pada masa turunnya ayat al-Qur’an. Sedangkan “sebab”
berarti pertanyaan atau peristiwa yang menjadi sebab turunnya al-Qur’an pada
masa itu[16]
Contoh Penerapan
Kaedah اْلعِبْرَةُ
بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Firman
Allah, Surat Al-Mujadallah, 1-4 yang artinya:
Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap
isterinya sebagai ibunya, padahal) ia adalah
isteri mereka bukan ibu mereka.
Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan
sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan
dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang
menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka
ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka
(wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur.
Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang
miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.”
Sebab turunnya ayat tersebut adalah berkaitan dengan
persoalan seorang wanita yang bernama Khaulah binti Isa’ al-Labban yang dizhihar oleh suaminya yang bernama Aus bin Shamit;
dengan mengatakan kepada isterinya: “Kamu bagiku sudah seperti punggung ibuku”.
Perkataan tersebut bermakna, bahwa dia
tidak boleh lagi menggauli isterinya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli
ibunya. Menurut kebiasaan orang Arab Jahiliyah, kalimat zihar seperti itu sudah
sama dengan menthalak isterinya. Khaulah kemudian mengadukan halnya itu
kepada Nabi s.a.w. Rasulullah selanjutnya menjawab; bahwa dalam hal ini belum
ada keputusan Allah. Dalam riwayat yang lain, Rasulullah mengatakan: “Engkau
telah diharamkan bersetubuh dengan dia”. Lalu Khaulah berkata” Tetapi suamiku
belum mengatakan kata-kata thalak” ya Rasulullah.kemudian Khaulah berulang kali
mendesak kepada beliau agar menetapkan keputusan mengenai masalah tersebut.
Sehingga, turunlah ayat tersebut di atas dan ayat-ayat berikutnya yang
menetapkan tentang hukum zhihar.[17]
Contoh
Penerapan Kaedah اْلعِبْرَةُ
بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لَا بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 115:
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 115:
5. وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ
وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ إِنَّ اللّهَ وَاسِعٌ
عَلِيمٌ
Artinya:
“Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situ-lah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas Rahmat-Nya, lagi Maha Mengetahui”. (QS Al-Baqarah: 115).
“Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situ-lah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas Rahmat-Nya, lagi Maha Mengetahui”. (QS Al-Baqarah: 115).
Jika
dalam memahami ayat 115 ini kita terapkan kaedah اْلعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَب maka dapat disimpulkan, bahwa shalat dapat
dilakukan dengan menghadap ke arah mana saja, tanpa dibatasi oleh situasi dan
kondisi di mana dan dalam keadaan bagaimana kita shalat. Kesimpulan demikian ini bertentangan dengan dalil lain (ayat) yang
menyatakan, bahwa dalam melaksanakan shalat harus menghadap ke arah
Masjidil-Haram. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Alllah:
6. وَمِنْ
حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۖ وَإِنَّهُ
لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Artinya:
Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan (Al-Baqarah: 149).
Artinya:
Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan (Al-Baqarah: 149).
Akan tetapi, jika dalam
memahami Surat Al-Baqarah ayat 115 di atas dikaitkan dengan sebab nuzulnya,
maka kesimpulan yang dapat diambil adalah, bahwa menghadap ke arah mana saja
dalam shalat adalah sah jika shalatnya dilakukan di atas kendaraan yang sedang
berjalan, atau dalam kondisi tidak mengetahui arah kiblat (Masjidil-Haram).[18] Dalam kasus ayat yang demikian ini
pemahamannya harus didasarkan pada sebab turunnya ayat yang bersifat khusus dan
tidak boleh berpatokan pada bunyi lafazh yang bersifat umum.
PENUTUP
Asbab al-Nuzul adalah segala sesuatu yang
menjadikan sebab turunnya suatu ayat Al-Qur’an, baik untuk mengomentari,
menjawab ataupun menerangkan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Suyuti, Al-Itqon fi
Ulum Al-Qur’an, Beirut, Dar Al-Fikr, 1979.
Anshori,ULUMUL QUR’AN Kaidah-kaidah Memahami
Firman Tuhan,Jakarta:Rajawali
Pers,2013.
Anwar,
Rosihan, Ulumul Qur’an, Cet. III; Bandung: Daftar Pustaka, 2006.
Az-Zarqoni,
Muhammad, Manahil Al-Irfan fi Ulm Al-Qur’an, Beirut,1996.
Beirut, 1988.
https://danankphoenix.wordpress.com/2010/03/30/asbabun-nuzul/,
diakses 3 April 2016.
Manna’ Al-Qoton , mabahis
fi Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadis, 1973.
Manna’ Khalil
al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Jakarta: Litera AntarNusa, 2009.
Munawwir, Ahmad Warson
, Almunawwir: Kamus Arab-Indonesia, Cet. XIV; Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997
Shihab, Quraish, dkk., Sejarah
dan Ulumul Qur’an, Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999
Sholih, Shubi, mabahis
fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Qolam Li Al-Malayyin,
Tengku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu
Alqur’an (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra,2002
Usman, ULUMUL QUR’AN, Yogyakarta: Teras, 2009.
Wahid,Ramli Abdul,Ulumul Qur’an,Jakarta:PT RajaGrafindo
Persada,1993.
[3]
Ahmad Warson Munawwir , Almunawwir: Kamus Arab-Indonesia, Cet. XIV;
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, hal. 602
[4] Ahmad
Warson Munawwir , Almunawwir: Kamus Arab-Indonesia, Cet. XIV; Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997, hal.
409
[6]
Manna’ Al-Qoton , mabahis fi Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-‘Ashr
Al-Hadis, ttp, 1973, hlm. 78.
[8] Quraish
Shihab., dkk., Sejarah dan Ulumul Qur’an, Cet. I; Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1999, h. 78.
[9]Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras,
2009), hlm.113-114.
[10]Ramli Abdul Wahid,Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press,
1993), hlm.38.
[11]Anshori, Ulumul Qur’an,(Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2013), hlm.106-107.
[12]Anshori, Ulumul Qur’an,(Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2013), hlm.107.
[13] Tengku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu
Alqur’an (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra,2002), hlm. 15.
[14] http://jundumuhammad,wordpress-arti-pentingnya-asbabun-nuzul,html.(diakses tanggal 30 Maret
2016).
[15] Tengku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu
Alqur’an (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra,2002), hlm. 15
[17] Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009), hlm. 148
[18] https://danankphoenix.wordpress.com/2010/03/30/asbabun-nuzul/